Popular Post

Posted by : Unknown Senin, 28 Oktober 2013

Di balik matahari yang mulai mengantuk, di sela-sela jari kaki Gunung Semeru; yang mereka sebut sebagai negeri di atas awan walaupun masih (selalu) di bawah sekotak misteri-Nya.
Seorang pemuda kencing di balik semak.
Pesing tak kentara, baunya tercium sampai Ranu Kumbolo. Surga pun tercemar karena bau pesing itu. Sembari mengutuk dinginnya angin yang baru saja menemaninya pulang turun dari puncak gunung, pemuda itu berbalik dengan selangk*ngan yang masih hina.
Seorang Bapak berumur 40-an menghampirinya; padahal si pemuda belum selesai menarik resleting celana PDL kotornya.
Bajunya coklat kumal tak karuan. Mungkin terbuat dari kulit binatang hewan yang hidup di sekitar sini, pikir si pemuda. Ada sedikit bercak darah kering di lengan baju Bapak itu.
“Dik, lain kali jangan kencing di sini.” Tangan Bapak itu kasar, mungkin karena harus melawan kerasnya alam Semeru; paku Pulau Jawa. Atau mungkin hanya karena terlalu lama memegang kapak untuk mencari kayu bakar untuk makan malam atau untuk sekedar bersenang-senang belaka.
“Ah… oh… i…iya… Pak. Maaf, maaf…” buru-buru pemuda itu menarik resletingnya sampai jari telunjuknya hampir terjepit.
“Nanti yang nungguin marah.”
Pemuda itu agak bergidik mendengar kata ‘nungguin’ walaupun dia tak percaya dengan takhayul.
“Waduh, iya, Pak. Saya nggak akan kencing di sini lagi.”
“Iya, jangan lagi.” Bapak itu menepuk pundak si pemuda dengan ramah. Larunglah niat si pemuda untuk segera kabur dari sana.
Dari teguran halus Si Bapak, datanglah pembicaraan sederhana di sebelah semak tadi: di atas kayu rontok yang sepertinya sudah lama terbaring di sana. Sepuntung Rok*k Gudang Garam Filter menemani bibir kering si pemuda. Asapnya menjadi orang ketiga dari obrolan mereka.
“Bapak mau rok*k?”
“Saya udah lama nggak ngerok*k. Saya udah janji ke istri saya”
“Kalau Bapak punya anak di sini?”
“Punya, tapi sudah meninggal.”
“Wah, maaf, Pak.”
“Sudah, tak apa. Sudah lama sekali lagipula.”
“Kalau istri, Pak?”
“Meninggal bersama kedua anak saya.”
Merasa tak nyaman membicarakan orang yang sudah tidak ada, si pemuda mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang sedang hangat
Wanita, Indonesia, hingga Gayus Tambunan menyangkut dalam satu setengah jam yang tak terasa. Hingga akhirnya si pemuda merasa sudah terlalu senja. Dia harus bertemu temannya di pos awal untuk mengejar kereta.
“Pak, maaf, saya harus ke teman-teman saya. Mereka udah nunggu di bawah.”
“Oh, silahkan, silahkan.”
Si pemuda mengambil ransel-delapan-kiogramnya dan bersiap untuk kembali berangkat. Kembali, merasa tidak enak jika pergi tanpa memberi sebuah ‘pertanyaan penutup’, si pemuda memberi pertanyaan terakhir.
“Oh iya, Pak, maaf, kalau rumah Bapak di mana?”
“Di sana.” Bapak itu menunjuk semak-semak tempat si pemuda kencing tadi.
Cerpen Karangan: Finlan Adhitya Aldan
Blog: Finlanadhitya.blogspot.com
sumber : via cerpenmu

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © sekedar X Info - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -