- Back to Home »
- cerita lucu »
- mantanmu, gebetanku
Posted by : Unknown
Senin, 28 Oktober 2013
Jumlah gebetan yang pernah bersama denganku selalu berbanding terbalik dengan jumlah mantan yang kukenal. Diibaratkan mencari sebuah jarum di dalam tumpukan jerami. Pergi ke sana, ketemu mantan, pergi ke sini ketemu mantan. Di mana-mana ada mantan, rasanya duniaku sudah tidak nyaman lagi untuk dihuni. Meski begitu yang menjadikan dunia ini tetap manis adalah dengan kehadiran para “bidadari” gebetan.
Tapi aku tidak sendirian, masih banyak di luar sana yang memiliki nasib sama denganku. Sebut saja kedua temanku yang tidak kalah “rekor”-nya dalam masalah percintaan. Fian, si jangkung berwajah bayi dengan hati yang polos, pengikut aliran PMDK (Pendekatan Mulu Dapet Kagak), serta Ndaru, peserta SBMPTN (Seleksi Bersama Mencari Pasangan Tanpa Ngantri). Aku sendiri adalah Ale, tanpa diulang, salah satu pencetus Undangan, yaitu mencari pasangan melalui jalur undian atau comblangan. Kami bertiga adalah Trio wkwkwk.
Pada kesempatan yang indah dan mempesona kali ini, cinta datang begitu saja tanpa permisi. Kami bertiga, selalu solid dan setia kawan dalam masalah berbagi, kecuali cinta. Kali ini, dewi Fortuna berpihak kepadaku. Belum lama ini aku berkenalan dengan salah seorang gadis bernama Lili.
“Guys! Doain gua di date pertama ini ya!” ucapku kepada kedua sahabatku itu.
“Nge-date? Udah jadian lu bang?” tanya Fian sambil menggunting kuku kakinya dengan posisi manuever “bangau main demprak.”
“Proses, tinggal nunggu clearance nih hehe,” jawabku bangga. Malam itu aku mengenakan pakaian super mewah dan keruwen banget. Saking kerennya jadi keruwen.
“Makan-makan ya le,” sahut Ndaru dari dapur, sedang memasak mie rebus.
“Emang acara arisan apa,” balasku.
“Peje harus turun nih atau kita demo,” timpal Fian.
“Yoooo!” balas Ndaru.
“Berani meres gua nih?” tanyaku.
“Yaelah bang, lu mah ambon doang tapi unyu,” balas Fian.
“Makanya cewek banyak yang suka,” timpalku pede.
“Nge-date? Udah jadian lu bang?” tanya Fian sambil menggunting kuku kakinya dengan posisi manuever “bangau main demprak.”
“Proses, tinggal nunggu clearance nih hehe,” jawabku bangga. Malam itu aku mengenakan pakaian super mewah dan keruwen banget. Saking kerennya jadi keruwen.
“Makan-makan ya le,” sahut Ndaru dari dapur, sedang memasak mie rebus.
“Emang acara arisan apa,” balasku.
“Peje harus turun nih atau kita demo,” timpal Fian.
“Yoooo!” balas Ndaru.
“Berani meres gua nih?” tanyaku.
“Yaelah bang, lu mah ambon doang tapi unyu,” balas Fian.
“Makanya cewek banyak yang suka,” timpalku pede.
Unyu? Apakah aku selucu itu? Sule kalah dong?
Date pertamaku setelah sekian abad menjomblo, hidup dalam kesendirian. Mantan pertamaku seperti cleopatra, aku menjadi budak cintanya. Dan seterusnya, hingga mantan terakhirku adalah atlit silat yang terkemuka. Tidak cuma hatiku yang kelepek-kelepek, wajahku dibuatnya meletek-meletek.
Aku menangis?
Cuma sekali tiap malam kok. Sambil dengerin lagu galau, kalau tidak Kerispatih yang “Mengenangmu” ya lagu Dewa 19 “Pupus”. Namun semuanya berubah ketika aku bertemu dengan Lili. Sosok gadis yang selalu tersenyum, cantik, pintar, dan mudah tertawa. Padahal lawakanku jayus dan garing nampol, akan tetapi ia tetap tertawa mendengarnya. Tawanya indah bagaikan senandung bidadari dari surga, dan suaranya begitu merdu seperti alunan harpa para malaikat.
Cuma sekali tiap malam kok. Sambil dengerin lagu galau, kalau tidak Kerispatih yang “Mengenangmu” ya lagu Dewa 19 “Pupus”. Namun semuanya berubah ketika aku bertemu dengan Lili. Sosok gadis yang selalu tersenyum, cantik, pintar, dan mudah tertawa. Padahal lawakanku jayus dan garing nampol, akan tetapi ia tetap tertawa mendengarnya. Tawanya indah bagaikan senandung bidadari dari surga, dan suaranya begitu merdu seperti alunan harpa para malaikat.
Date malam ini harus sukses!
Kami bertemu di sebuah restoran bintang empat, aku sengaja memesan makan malam khusus nan romantis. Tema “Candlelight” dinner menjadi menu utama malam ini.
“Makasih lho kamu udah mau repot begini,” puji Lili yang malam itu mengenakan gaun merah ciptaan seorang desainer terkenal, yang tak kukenal.
“Ini semua istimewa untuk kamu kok,” sahut mulut buayaku mulai beraksi.
“Tapi kamu romantis banget,” balasnya. “Kamu cowok pertama yang ngajakin aku nge-date di tempat… mewah seperti ini…”
“Kalau jadi pacarku tiap malam juga kita makan di sini,” sahutku.
“Eh? Apa kamu bilang?”
“Eh enggak em… anu mari makan dulu, kasihan makanannya sudah dingin karena terpana dengan kecantikanmu…”
“Ihhh gombal!”
“Ini semua istimewa untuk kamu kok,” sahut mulut buayaku mulai beraksi.
“Tapi kamu romantis banget,” balasnya. “Kamu cowok pertama yang ngajakin aku nge-date di tempat… mewah seperti ini…”
“Kalau jadi pacarku tiap malam juga kita makan di sini,” sahutku.
“Eh? Apa kamu bilang?”
“Eh enggak em… anu mari makan dulu, kasihan makanannya sudah dingin karena terpana dengan kecantikanmu…”
“Ihhh gombal!”
Aku tidak dapat mengingat menu malam itu. Aku tidak dapat menggambarkan cita rasa tiap sendoknya. Yang kuingat dan kuperhatikan hanya Lili seorang, meski makanku jadi belepotan seperti bayi. Sendok di sana, makanan di sini. Tapi Lili begitu perhatian, ia langsung menyeka mulutku dengan penuh kasih sayang. Aku tidak dapat melupakan malam ini.
“Terimakasih ya Ale,” katanya setelah kuantar pulang. Aku mengantarnya hanya sampai depan gerbang.
“Sama-sama,” jawabku senang.
“Gak mampir dulu? Di dalam ada kakak dan adikku, ibu dan ayah juga.”
“Mungkin lain waktu, lagipula sang putri butuh istirahat agar kecantikannya tetap terjaga ya kan?”
Lili hanya tertawa mendengarnya. Soal gombal aku ahlinya, menaklukan hati wanita aku-lah pakarnya.
“Sama-sama,” jawabku senang.
“Gak mampir dulu? Di dalam ada kakak dan adikku, ibu dan ayah juga.”
“Mungkin lain waktu, lagipula sang putri butuh istirahat agar kecantikannya tetap terjaga ya kan?”
Lili hanya tertawa mendengarnya. Soal gombal aku ahlinya, menaklukan hati wanita aku-lah pakarnya.
Beberapa minggu berlalu, hubunganku dengan Lili semakin bertambah erat. Dan sepertinya, kedua sahabatku ini semakin penasaran dengan sosok Lili yang menjadi target operasiku.
“Bro, bawa dong gebetan lu ke sini, kita-kita kan mau kenal!” pinta Fian yang sedang menonton bersama Ndaru.
“Entar deh kalo udah jadi!” kelitku.
“Bilang aja takut tak ambil le,” sahut Ndaru.
“Ah udahlah lu berdua nonton JKT 48 aja deh, gua pergi dulu ya, mau jemput Lili latihan nih!” kataku. Aku sudah berjanji untuk menjemputnya seusai ia latihan basket di GOR.
“Lili? Jadi namanya Lili?” tanya Fian. “Please banget deh kepo nih kritis, lihat fotonya dong? Ada twitternya?”
Karena tidak tahan melihat wajah mupeng sahabatku, aku memberikan akun twitter Lili, yaitu @leeleeboekanahlay.
“Entar deh kalo udah jadi!” kelitku.
“Bilang aja takut tak ambil le,” sahut Ndaru.
“Ah udahlah lu berdua nonton JKT 48 aja deh, gua pergi dulu ya, mau jemput Lili latihan nih!” kataku. Aku sudah berjanji untuk menjemputnya seusai ia latihan basket di GOR.
“Lili? Jadi namanya Lili?” tanya Fian. “Please banget deh kepo nih kritis, lihat fotonya dong? Ada twitternya?”
Karena tidak tahan melihat wajah mupeng sahabatku, aku memberikan akun twitter Lili, yaitu @leeleeboekanahlay.
“Lho? Ini kan…” kata Ndaru sedikit terkejut melihat avatar Lili di akun tersebut.
“Ada apa Ndar?” tanyaku.
“Namanya bener Lili?” tanya dia.
“Iyo atuh, kenapa deh?”
“Mirip mantanku le,” sahutnya. “Mantanku, tapi aku lupa namanya… Ella atau Bella gitu…”
“Moso toh?” tanyaku.
“Persis banget!” kata Ndaru.
“Yakin lu ndar?”
“Hemm… bulu mata sebelah kirinya lebih panjang dari sebelah kanannya enggak? Atau ada rambut uban yang panjang sendiri deket telinganya…?”
“Ndar,” kataku berwajah datar seperti jalan tol. “Cirinya jangan yang begitu dong, ada ciri lain?”
“Hehe maaf le, coba kamu lihat apa ada tahi lalat di leher belakangnya?”
“Ada apa Ndar?” tanyaku.
“Namanya bener Lili?” tanya dia.
“Iyo atuh, kenapa deh?”
“Mirip mantanku le,” sahutnya. “Mantanku, tapi aku lupa namanya… Ella atau Bella gitu…”
“Moso toh?” tanyaku.
“Persis banget!” kata Ndaru.
“Yakin lu ndar?”
“Hemm… bulu mata sebelah kirinya lebih panjang dari sebelah kanannya enggak? Atau ada rambut uban yang panjang sendiri deket telinganya…?”
“Ndar,” kataku berwajah datar seperti jalan tol. “Cirinya jangan yang begitu dong, ada ciri lain?”
“Hehe maaf le, coba kamu lihat apa ada tahi lalat di leher belakangnya?”
Tahi lalat?
Aku jadi penasaran sekarang. Apa benar Lili adalah “mantan” yang Ndaru maksud? Bila benar, tentunya tidak etis, berpacaran dengan mantan sahabat sendiri. Bukan karena sekon-nya, tapi itu dilarang dalam buku etika bersahabat halaman tiga puluh paragraf dua baris sepuluh kalimat kelima yang berbunyi: “Jangan mengembat apa yang bukan hakmu, ambillah hakmu selain hak temanmu, sekalipun ia melalaikan hak itu.”
Aku jadi penasaran sekarang. Apa benar Lili adalah “mantan” yang Ndaru maksud? Bila benar, tentunya tidak etis, berpacaran dengan mantan sahabat sendiri. Bukan karena sekon-nya, tapi itu dilarang dalam buku etika bersahabat halaman tiga puluh paragraf dua baris sepuluh kalimat kelima yang berbunyi: “Jangan mengembat apa yang bukan hakmu, ambillah hakmu selain hak temanmu, sekalipun ia melalaikan hak itu.”
Oke, aku akan memeriksanya!
Sesuai rencana, aku menjemput Lili dan mencoba melihat tahi lalat di leher belakangnya… tanpa diketahui olehnya tentu.
Sesuai rencana, aku menjemput Lili dan mencoba melihat tahi lalat di leher belakangnya… tanpa diketahui olehnya tentu.
“Ada apa Ale?” tanya Lili yang sedikit risih karena melihat tingkahku yang sedikit “berbeda”.
“Ah enggak,” kelitku, masih mencoba memperhatikan tahi lalat itu.
“Kamu sakit leher?” tanyanya.
“Enggak… eh iya, iya deh! Salah bantal kayaknya!”
“Bantal siapa yang kamu pakai memang?” candanya.
“Bantal Ndaru atau Fian temanku mungkin,” jawabku seadanya.
“Ndaru… katamu?” tanyanya seolah mengingat sesuatu.
“Iya… Ndaru… kenapa?”
“Ah enggak apa-apa…” jawabnya seperti mencoba menyembunyikan sesuatu.
“Ah enggak,” kelitku, masih mencoba memperhatikan tahi lalat itu.
“Kamu sakit leher?” tanyanya.
“Enggak… eh iya, iya deh! Salah bantal kayaknya!”
“Bantal siapa yang kamu pakai memang?” candanya.
“Bantal Ndaru atau Fian temanku mungkin,” jawabku seadanya.
“Ndaru… katamu?” tanyanya seolah mengingat sesuatu.
“Iya… Ndaru… kenapa?”
“Ah enggak apa-apa…” jawabnya seperti mencoba menyembunyikan sesuatu.
Aneh.
Aku jadi semakin penasaran. Jadi aku memakai trik kuno.
Aku jadi semakin penasaran. Jadi aku memakai trik kuno.
“Ada kotoran tuh di lehermu.”
“Eh? Mana?” tanyanya sambil mengibaskan rambut yang menutupi lehernya.
“Itu di belakang!” tunjukku.
“Mana?”
Ah belum kelihatan lagi.
“Eh tuh ada cicak.”
“Eh? Mana? Ih jijik usir dong!”
Aku mengambil kesempatan itu untuk melihat dari dekat. Tak ada. Tak ada ternyata.
Aku lega, ternyata ia bukan orang yang Ndaru maksud… akan tetapi…
“Eh? Mana?” tanyanya sambil mengibaskan rambut yang menutupi lehernya.
“Itu di belakang!” tunjukku.
“Mana?”
Ah belum kelihatan lagi.
“Eh tuh ada cicak.”
“Eh? Mana? Ih jijik usir dong!”
Aku mengambil kesempatan itu untuk melihat dari dekat. Tak ada. Tak ada ternyata.
Aku lega, ternyata ia bukan orang yang Ndaru maksud… akan tetapi…
“Udah gak ada cicaknya?”
“Eh… iya eh udah pergi tuh ke konser,” jawabku.
“Eh… iya eh udah pergi tuh ke konser,” jawabku.
Hubungan ini semakin berjalan ke arah yang jelas, tidak seperti wajahku. Akan tetapi, Lili tampaknya curiga kepadaku. Ia memintaku untuk menemuinya di sebuah hotel di wilayah elit. Dia memintaku untuk datang sendirian. Tapi aku takut, jadi aku mengajak kedua sahabatku untuk menjagaku.
“Haloooo, lu seorang yang ambon berwajah seram bertubuh hercules ini takut sama cewek?” kata Fian.
“Serius takut deh, takut diapa-apain, gimana kalo gua diperk*sa sama dia?” tanyaku.
Fian dan Ndaru memasang wajah datar persis jalan tol. “Lu? Diperk*sa?”
“Nanti gua bukan perjaka lagi deh,” jawabku sedih. “Ayolah! Lagian gua curiga sama dia nih!”
“Gua juga penasaran sih le sama Lili ini…” timpal Ndaru.
“Berani bayar berapa lu bang ngajak kita ke sana?”
“Entar gua comblangin deh lu berdua sama temen gua!” jawabku.
“Ciyus?” tanya Fian.
“Temen lu emang ada yang cantik?” tanya Ndaru.
“Ada banyak! Yaaaa…. ada-lah! Kalo gak salah! Gak gua pacarin aja karena itu temen gua!”
“Serius takut deh, takut diapa-apain, gimana kalo gua diperk*sa sama dia?” tanyaku.
Fian dan Ndaru memasang wajah datar persis jalan tol. “Lu? Diperk*sa?”
“Nanti gua bukan perjaka lagi deh,” jawabku sedih. “Ayolah! Lagian gua curiga sama dia nih!”
“Gua juga penasaran sih le sama Lili ini…” timpal Ndaru.
“Berani bayar berapa lu bang ngajak kita ke sana?”
“Entar gua comblangin deh lu berdua sama temen gua!” jawabku.
“Ciyus?” tanya Fian.
“Temen lu emang ada yang cantik?” tanya Ndaru.
“Ada banyak! Yaaaa…. ada-lah! Kalo gak salah! Gak gua pacarin aja karena itu temen gua!”
Jadi, Trio wkwkwk ini akhirnya pergi bersama. Menuju hotel yang disebutkan oleh Lili. Malam ini, semuanya akan terjawab… kurasa…
“Lantai lima puluh tiga kamar nomor dua,” isi sms Lili kepadaku.
“Tuh baca deh bro! Ngeri ah mainannya udah pesen kamar-kamaran,” kataku.
“Bro,” kata Fian. “Lu kan ambon sangar? Hati lu ternyata hello kitty ya?”
“Bukan bro, itu mah untuk cewek. Kalo teletubbies masih oke deh,” sahutku. “Muka doang serem, hati gua mah selembut salju…”
“Tuh baca deh bro! Ngeri ah mainannya udah pesen kamar-kamaran,” kataku.
“Bro,” kata Fian. “Lu kan ambon sangar? Hati lu ternyata hello kitty ya?”
“Bukan bro, itu mah untuk cewek. Kalo teletubbies masih oke deh,” sahutku. “Muka doang serem, hati gua mah selembut salju…”
Aku menyuruh kedua sahabatku untuk mengikuti dari belakang, dan mengawasi dari belakang.
Langkahku sempat terhenti ketika aku tiba di depan pintu kamar hotel yang dimaksudkan.
Langkahku sempat terhenti ketika aku tiba di depan pintu kamar hotel yang dimaksudkan.
Nafasku memburu. Jantungku terpompa lebih kencang daripada pompa PDAM. Aku siap, tapi tidak siap, eh galau.
Kuketuk pintunya.
“Masuk,” terdengar suara manis dari dalam. Suara Lili. Pasti, atau suara tante kunti yang menyamar dan siap memakanku. Ihh kok jadi mikir yang tidak-tidak.
“Masuk,” terdengar suara manis dari dalam. Suara Lili. Pasti, atau suara tante kunti yang menyamar dan siap memakanku. Ihh kok jadi mikir yang tidak-tidak.
“Ini aku, Ale,” kataku.
“Masuk aja Ale,” pintanya. “Tidak dikunci kok…”
Aku membuka pintu. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam. Aku berjalan pelan. Duh update banget ceritanya kaya orang gaul lagi nge-tweet.
“Masuk aja Ale,” pintanya. “Tidak dikunci kok…”
Aku membuka pintu. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam. Aku berjalan pelan. Duh update banget ceritanya kaya orang gaul lagi nge-tweet.
Aku melihat Lili tengah berdiri membelakangiku, menghadap jendela, memperhatikan langit gelap dan suasana malam kota hiruk pikuk ini. Wajahnya terhalang oleh rambutnya yang panjang.
“Kamu datang sendiri kan?” tanyanya tanpa menoleh kepadaku.
“Eh anu… iya sendiri kok…”
“Bener? Kamu gak bohongin aku kan?”
“Iya…”
“Ada yang mau aku sampaikan sama kamu… sebelumnya,” katanya lalu menoleh. “Seberapa sayang kamu sama Lili?”
“Eh? Kok begitu pertanyaannya?”
“Ya gak apa-apa kan?”
“Aku sayang dan tulus sama kamu. Sejak pertama bertemu, aku tau bahwa aku tidak salah langkah lagi.”
“Banyak cowok yang ngakunya begitu, ujung-ujungnya malah ninggalin… cowok cuma manis di mulut aja!”
“Beda denganku. Aku manis keseluruhan, hehe kamu tau maksudku kan?” candaku. Jayus. Lili tak tertawa.
“Jayus,” katanya.
Seketika aku menyadari sesuatu.
“Eh anu… iya sendiri kok…”
“Bener? Kamu gak bohongin aku kan?”
“Iya…”
“Ada yang mau aku sampaikan sama kamu… sebelumnya,” katanya lalu menoleh. “Seberapa sayang kamu sama Lili?”
“Eh? Kok begitu pertanyaannya?”
“Ya gak apa-apa kan?”
“Aku sayang dan tulus sama kamu. Sejak pertama bertemu, aku tau bahwa aku tidak salah langkah lagi.”
“Banyak cowok yang ngakunya begitu, ujung-ujungnya malah ninggalin… cowok cuma manis di mulut aja!”
“Beda denganku. Aku manis keseluruhan, hehe kamu tau maksudku kan?” candaku. Jayus. Lili tak tertawa.
“Jayus,” katanya.
Seketika aku menyadari sesuatu.
“Di mana Lili?” tanyaku.
“Apa maksudmu…? Aku Lili? Apa kamu lupa Ale?”
“Bukan,” jawabku. “Kamu bukan Lili. Berhenti menipuku dan hentikan permainan ini!”
“Apa maksudmu…? Aku Lili? Apa kamu lupa Ale?”
“Bukan,” jawabku. “Kamu bukan Lili. Berhenti menipuku dan hentikan permainan ini!”
Wanita yang berdiri di hadapanku langsung menepuk tangan dan tertawa.
“Kamu memang hebat, seperti kata Lili padaku,” ujarnya. “Dari mana kamu tau aku bukan Lili?”
“Lili selalu tertawa meski aku jayus. Lili sangat ceria. Kamu jutek.”
“Eh enak aja ya!”
“Lalu… siapa sebenarnya dirimu?”
Belum sempat ia memperkenalkan diri, seseorang yang mengejutkanku.
“Ale? Kamu udah sampe? Jahat nih kak Lala gak kasih tau kalo dia udah sampe!”
“Eh? Lala?” tanyaku.
“Iya Ale… kak Lala adalah kakakku… kami adalah anak kembar,” jawabnya.
“Lili selalu tertawa meski aku jayus. Lili sangat ceria. Kamu jutek.”
“Eh enak aja ya!”
“Lalu… siapa sebenarnya dirimu?”
Belum sempat ia memperkenalkan diri, seseorang yang mengejutkanku.
“Ale? Kamu udah sampe? Jahat nih kak Lala gak kasih tau kalo dia udah sampe!”
“Eh? Lala?” tanyaku.
“Iya Ale… kak Lala adalah kakakku… kami adalah anak kembar,” jawabnya.
“UUUEEEHHHH???” betapa terkejutnya diriku. Lili dan Lala, anak kembar.
“Apa-apaan ini….?” tanyaku seolah tak percaya, atheis, tak percaya, ah sudahlah jayus.
Pintu kamar didobrak. Fian dan Ndaru masuk menerjang.
“Ada apa bang ambon?” tanya mereka, yang terkejut juga karena melihat dua wanita yang sama persis, berdiri di hadapan mereka.
“Ada apa bang ambon?” tanya mereka, yang terkejut juga karena melihat dua wanita yang sama persis, berdiri di hadapan mereka.
“Ndaru…?” tanya Lala terkejut pula.
“Lala….?” tanya Ndaru membalas.
Cinta lama bertemu kembali, CLBK. Ternyata Ndaru pernah berpacaran dengan saudari kembar dari Lili, yakni Lala.
“Lala….?” tanya Ndaru membalas.
Cinta lama bertemu kembali, CLBK. Ternyata Ndaru pernah berpacaran dengan saudari kembar dari Lili, yakni Lala.
Aku langsung menyatakan perasaanku kepada Lili malam itu juga. Lala merestui kami dan Lili menyetujuinya. Akhirnya aku memiliki hubungan yang jelas! Dengan wanita yang kuidamkan sejak awal bertemu.
Lala dan Ndaru sepertinya balikan, tapi itu butuh proses. Tampaknya sih lampu hijau.
Lala dan Ndaru sepertinya balikan, tapi itu butuh proses. Tampaknya sih lampu hijau.
“Reuni yang indah ya,” kata Fian menangis.
“Lho kok lu nangis?” tanyaku.
“Tinggal gua nih yang jomblo.”
Kami tertawa mendengarnya.
“Lho kok lu nangis?” tanyaku.
“Tinggal gua nih yang jomblo.”
Kami tertawa mendengarnya.
“Malam ini gua traktir kita makan!” ucapku.
Semua bersorak.
“Yeee makan enak!” kata Ndaru.
“Makan mewah nih!” timpal Fian.
“Makan di mana Ale?” tanya Lili.
“Kita makan…. di warung pinggir jalan…. katanya nasi gorengnya enak lho!”
“Jayus…” sahut mereka. Kecuali Lili, ia tertawa.
“Eh sebentar deh!” kata Lala. “Aku sekalian ngajak ade kita aja ya!”
“Boleh kan Ale?” tanya Lili menunjukkan wajah imut nan unyu, memohon izin dariku.
Aku mengintip isi dompetku. Ikhlas saja, walau menghela nafas, jatah bensinku harus berkurang bulan ini.
“Adikmu?” tanya Ndaru. “Kamu punya adik lagi La?”
“Iya Ndar… adik perempuan kembarku juga…”
“Eh? Kalian tiga bersaudari kembar semua?” tanyaku.
“Iya…”
“Namanya siapa? Siapa?” tanya Fian senang.
“Lele,” jawab Lili.
Semua bersorak.
“Yeee makan enak!” kata Ndaru.
“Makan mewah nih!” timpal Fian.
“Makan di mana Ale?” tanya Lili.
“Kita makan…. di warung pinggir jalan…. katanya nasi gorengnya enak lho!”
“Jayus…” sahut mereka. Kecuali Lili, ia tertawa.
“Eh sebentar deh!” kata Lala. “Aku sekalian ngajak ade kita aja ya!”
“Boleh kan Ale?” tanya Lili menunjukkan wajah imut nan unyu, memohon izin dariku.
Aku mengintip isi dompetku. Ikhlas saja, walau menghela nafas, jatah bensinku harus berkurang bulan ini.
“Adikmu?” tanya Ndaru. “Kamu punya adik lagi La?”
“Iya Ndar… adik perempuan kembarku juga…”
“Eh? Kalian tiga bersaudari kembar semua?” tanyaku.
“Iya…”
“Namanya siapa? Siapa?” tanya Fian senang.
“Lele,” jawab Lili.
Lele? Yang ada patilnya itu? Pikirku.
“Kamu pasti seneng deh bertemu dia, dia itu modis dan update terus!” jawab Lili.
“Cantik kan adikmu?” tanya Fian.
“Tentu dong!”
“Tapi… kenapa namanya Lele?” bisikku perlahan.
Lala, Lili, dan Lele…
Apa lagi yang lebih parah daripada tiga bersaudari kembar? Yang penting, aku tidak jomblo lagi, itu sudah cukup.
“Cantik kan adikmu?” tanya Fian.
“Tentu dong!”
“Tapi… kenapa namanya Lele?” bisikku perlahan.
Lala, Lili, dan Lele…
Apa lagi yang lebih parah daripada tiga bersaudari kembar? Yang penting, aku tidak jomblo lagi, itu sudah cukup.
Cerpen Karangan: Rafael Stefan Lawalata
Penulis muda namun berpengalaman, menulis untuk berbagi, berbagi kebahagiaan.
Penulis muda namun berpengalaman, menulis untuk berbagi, berbagi kebahagiaan.
sumber: via cerpenmu