Archive for Oktober 2013
tinggalah lebih lama
By : Unknown
Tempat ini, aku selalu merindukannya sepanjang tahun, setiap liburan seperti ini aku menyempatkan singgah di rumah nenek karena menariknya di belakang Desa ada Hutan pinus yang selalu membius mataku.
Barisan pohon-pohon pinus yang cantik, udara sebersih embun dan hawa para peri yang kadang membuatku merinding. ibu selalu mengerti kalau aku menyukai tempat ini. aku senang berlama-lama di tempat seperti ini.
“Risaa… turun sebentar nak, ibu punya teh hangat dan semangkuk mie kesukaan mu.” Ibu mengusir lamunanku (lagi).
“iyaa bu… aku turun” aku berteriak sambil mengusap perut.
“oke, hari ini kau turun dalam waktu 3 menit.” Kata ibu sambil melihat jam kulitnya.
“hmmmm…” aku menggumam dengan mulut penuh mie.
“Risa..” suara ibu melembut sambil menatap ku.
“iya bu?…” sepertinya ada sesuatu pikirku.
“kau tahu sabtu malam kau genap berusia 17 tahun?”
“hmmm..” aku hanya mengangguk
“iyaa bu… aku turun” aku berteriak sambil mengusap perut.
“oke, hari ini kau turun dalam waktu 3 menit.” Kata ibu sambil melihat jam kulitnya.
“hmmmm…” aku menggumam dengan mulut penuh mie.
“Risa..” suara ibu melembut sambil menatap ku.
“iya bu?…” sepertinya ada sesuatu pikirku.
“kau tahu sabtu malam kau genap berusia 17 tahun?”
“hmmm..” aku hanya mengangguk
Bagiku perayaan ulang tahun ke-17 tidak terlalu penting. aku hanya butuh doa dari orang-orang yang aku sayangi tidak perlu perayaan-perayaan besar, hadiah-hadiah mewah seperti kebanyakan remaja sepertiku karena menurutku itu hanya membuang-buang tenaga dan juga uang pastinya.
“saat seusiamu ibu sangat dilarang pergi ke hutan oleh nenek, katanya banyak roh-roh jahat di hutan ini.” Ibu bercerita sedikit.
“lalu..?” jawabku santai.
“ibu tau.. kau menyukai tempat ini tapi bisakah kau tidak naik ke hutan pinus sampai akhir minggu ini?”
“uhuk, huk..” aku tersedak, bagaimana mungkin sudah sebesar ini aku masih di larang pergi ke tempat yang ku sukai aku membatin.
Ibu segera mengambilkan ku segelas air putih kemudian menepuk-nepuk pundakku.
“setidaknya kau harus percaya kata ibu!” Ibu meninggalkan ku sendirian dimeja makan.
“lalu..?” jawabku santai.
“ibu tau.. kau menyukai tempat ini tapi bisakah kau tidak naik ke hutan pinus sampai akhir minggu ini?”
“uhuk, huk..” aku tersedak, bagaimana mungkin sudah sebesar ini aku masih di larang pergi ke tempat yang ku sukai aku membatin.
Ibu segera mengambilkan ku segelas air putih kemudian menepuk-nepuk pundakku.
“setidaknya kau harus percaya kata ibu!” Ibu meninggalkan ku sendirian dimeja makan.
Aku berjalan pelan melalui kamar tidurku, berusaha berfikir cuek pada larangan ibu tadi. Sesampainya di kamar aku langsung merebah di tempat tidur mataku tertuju pada jendela kamar yang seperti lukisan hutan pinus tiga dimensi indah sekali.
“mana mungkin di hutan ini banyak roh-roh jahat?” Gumamku dalam hati, aku tambah penasaran. Tak lama malah aku tertidur pulas.
“Risaa..” suara itu lembut sekali seperti alunan angin di padang cemara.
“ya..” aku refleks menengok ke belakang, tidak ada siapa-siapa hanya aku dan puluhan pohon pinus berjejer mengelilingi danau.
“ya..” aku refleks menengok ke belakang, tidak ada siapa-siapa hanya aku dan puluhan pohon pinus berjejer mengelilingi danau.
Aku pun terbangun. Kulihat jam berdetak seimbang di dinding, sudah jam 6 sore pantas saja mimpiku aneh sekali, aku berjalan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di sini aku punya seorang teman namanya Tiar umurnya 15 tahun. Ibu bilang kami sepupu jauh. Tiar pernah bercerita bahwa di hutan pinus ini ada sebuah danau dengan pemandangan bak di surga. Sekali lagi, seperti dia sudah pernah ke surga saja. Selesai membersihkan diri aku berjalan santai ke arah meja makan dan sedikit terkejut dengan munculnya Tiar di sebelah kursi makanku.
“hai kak Risa ayo makan sama-sama.” Ajak bocah itu sambil tertawa kecil.
Aku mencoba tersenyum manis, segera duduk dan menyantap hidangan di meja makan ibu tidak melanjutkan lagi pembicaraan tadi siang tentang umurku dan roh-roh apalah itu aku kurang mengerti. Selesai makan aku dan Tiar pergi duduk-duduk di taman belakang.
“kak Risa ingat cerita tentang danau yang aku bicarakan waktu itu?” Tiar mencoba memulai pembicaraan.
“ingat, bagaimana kelanjutan ceritanya?” aku sedikit penasaran.
“kelanjutannya adalah, hari jumat aku akan menelusuri hutan pinus ini bersama kakak sepupuku Kris, apa kak Risa mau ikut?” nada bicaranya mulai berbisik seolah ini misi rahasia.
“ingat, bagaimana kelanjutan ceritanya?” aku sedikit penasaran.
“kelanjutannya adalah, hari jumat aku akan menelusuri hutan pinus ini bersama kakak sepupuku Kris, apa kak Risa mau ikut?” nada bicaranya mulai berbisik seolah ini misi rahasia.
Aku diam dan berfikir sejenak teringat ucapan ibu tadi siang.
“boleh juga, baiklah aku ikut.” Aku menunjukkan senyum termanis.
“yeaahh..” dia memberikan high five dan segera ku sambut.
“yeaahh..” dia memberikan high five dan segera ku sambut.
—
Kulihat lagi ransel ku “semua sudah selesai di pack, aku juga sudah dapat izin menginap di rumah Tiar malam ini walaupun dengan sedikit berbohong pada ibu dengan alasan akan pergi ke rumah Kris di Desa Sebelah.” Gumam ku dalam hati.
—
“kak Risa, kita harus segera tidur supaya besok pagi tidak kesiangan menembus hutan pinus.” Bisik Tiar dengan gayanya yang seperti agen mata-mata”
Aku mengangguk meledek
“hahaha…” kami tertawa keras lalu bergegas tidur.
Aku mengangguk meledek
“hahaha…” kami tertawa keras lalu bergegas tidur.
—
“kalian berdua siap? Kita akan melewati puluhan pohon pinus di depan nanti.” Kata Kris yang bertingkah seperti leader kelompok pencinta alam.
“hmm..” Kami berdua mengangguk yakin.
“hmm..” Kami berdua mengangguk yakin.
Kris sebenarnya anggota Mapala di kampusnya tak heran ranselnya yang paling besar di antara kami bertiga. badannya yang tegap dan gagah membuatku percaya bahwa Kris bisa melindungiku dan Tiar apabila terjadi sesuatu yang tak kami inginkan.
Langkah pertama memasuki hutan kami melewati dua pohon pinus tua yang daunnya sudah terlihat jarang sungguh itu terlihat seperti gerbang bertuliskan “SELAMAT DATANG”. Jalan setapak yang tersamarkan oleh guguran daun-daun pohon pinus di tambah lembabnya struktur tanah membuat kami harus berhati hati agar tidak tergelincir. Tidak lama kami berjalan, dari kejauhan terdengar bunyi gemericik air.
“itu pasti aliran sungai” kata Kris yang berjalan di belakang kami.
“berarti kita sudah lumayan dekat dengan danau itu ya kak?” Tanya Tiar.
“Yap!!!” kami mempercepat langkah masing-masing dan sesampainya di sungai
“lebih baik kita beristirahat sejenak di sini” kata Kris sambil membasuh wajah nya dengan air sungai.
“oke” aku terduduk di bawah pohon pinus yang tinggi nya kurang lebih 25 meter.
“ah aku lelah sekali, kalian enak tenaganya banyak, aku kan masih kecil” Tiar lalu tumbang berbaring di tanah.
“hati hati kalau tiduran di sini bisa jadi banyak ular.” Kris mencoba menasihati Tiar
“berarti kita sudah lumayan dekat dengan danau itu ya kak?” Tanya Tiar.
“Yap!!!” kami mempercepat langkah masing-masing dan sesampainya di sungai
“lebih baik kita beristirahat sejenak di sini” kata Kris sambil membasuh wajah nya dengan air sungai.
“oke” aku terduduk di bawah pohon pinus yang tinggi nya kurang lebih 25 meter.
“ah aku lelah sekali, kalian enak tenaganya banyak, aku kan masih kecil” Tiar lalu tumbang berbaring di tanah.
“hati hati kalau tiduran di sini bisa jadi banyak ular.” Kris mencoba menasihati Tiar
Aku melihat sekeliling, tanah ini indah sekali air sungainya begitu bening lembut turun ke kaki bukit, sejenak teringat ucapan ibu waktu itu.
“mana mungkin di sini ada roh jahat.” Batinku
“mana mungkin di sini ada roh jahat.” Batinku
Kris menghampiri ku perlahan duduk di smping kiri ku “kau tahu Risa? Mereka menyukaimu.”
“apa?” aku menoleh kaget.
Kris hanya tersenyum lalu berdiri “ayo kita lanjutkan perjalanan, hei Tiar!!! apa kau mau tidur di sini sampai malam? Cepat bangun!”
“aahh ka Kris…” tiar sedikit merengek
“apa?” aku menoleh kaget.
Kris hanya tersenyum lalu berdiri “ayo kita lanjutkan perjalanan, hei Tiar!!! apa kau mau tidur di sini sampai malam? Cepat bangun!”
“aahh ka Kris…” tiar sedikit merengek
Kami berjalan menanjak di sebuah bukit yang berjejer pohon pinus tiba-tiba ada suara seperti aliran air dari atas bukit anehnya suara itu terasa semakin mendekat.
“apa itu suara air?” aku bertanya pada Kris.
“bukan, itu angin bersiaplah mereka akan melewatimu” katanya sambil cengengesan
“kreeesssss…” angin menabrak badan badan pohon pinus di sekelilingku, betul angin itu mendekat turun dari atas bukit dan melewati kami.
“hahaha itu asyik sekali” Tiar kegirangan.
“sekali lagi, mereka menyukaimu Risa” bisik Kris untuk kedua kali.
“sebenarnya apa maksudmu?” Tanyaku penasaran.
Lagi-lagi Kris hanya tersenyum lalu berjalan mendahuluiku.
“apa itu suara air?” aku bertanya pada Kris.
“bukan, itu angin bersiaplah mereka akan melewatimu” katanya sambil cengengesan
“kreeesssss…” angin menabrak badan badan pohon pinus di sekelilingku, betul angin itu mendekat turun dari atas bukit dan melewati kami.
“hahaha itu asyik sekali” Tiar kegirangan.
“sekali lagi, mereka menyukaimu Risa” bisik Kris untuk kedua kali.
“sebenarnya apa maksudmu?” Tanyaku penasaran.
Lagi-lagi Kris hanya tersenyum lalu berjalan mendahuluiku.
—
“ini dia…” Kris mempersembahkan semangkuk air tawar raksasa berwarna hijau bening mengkilat di bawah binar sinar matahari,
Aku dengan nafas yang berlarian mencoba menenangkan diri melihat indahnya bayangan pohon-pohon pinus pada cermin tenang itu, sesekali angin menggoyahkan bayangan tanpa merusak cermin
Aku dengan nafas yang berlarian mencoba menenangkan diri melihat indahnya bayangan pohon-pohon pinus pada cermin tenang itu, sesekali angin menggoyahkan bayangan tanpa merusak cermin
Tiba-tiba ada angin berhembus dari ujung danau, dia melewati kami hawa angin ini terasa lain dingin dan sepi tapi aku tidak terlalu menghiraukan perasaan itu.
Lelah sekali rasanya perjalanan tadi aku merebah pada rumput hijau tak berbatu, Kris datang duduk di sampingku. Mataku terpejam, tempat ini tenang sekali terlalu malas untuk mulai menyapa Kris.
Lelah sekali rasanya perjalanan tadi aku merebah pada rumput hijau tak berbatu, Kris datang duduk di sampingku. Mataku terpejam, tempat ini tenang sekali terlalu malas untuk mulai menyapa Kris.
“Risa..” ada suara lembut menyapa ku
“ya..” aku terbangun dan membuka mata.
“kau suka tempat ini kan? Kami juga menyukaimu tinggallah lebih lama di sini kau bisa berimajinasi sepanjang malam dan berlari lari mengejar angin sepanjang terang. Bukankah itu menyenangkan?” dia dengan suara lembut dan beberapa yang lain tersenyum hangat di belakangnya
“ka..lian… siapa?” aku bertanya terbata.
“tidak ada roh jahat di sini Risa, kami hanya membantumu mendapatkan ketenangan, kau suka tempat ini kan? Kami juga menyukaimu tinggalah lebih lama!”
“a.. aku tidak bisa aku sudah berjanji pulang pada ibu.”
“ibu berbeda dengan mu Risa dia tidak mengerti, kau suka tempat ini kan? Kami juga menyukaimu Tinggalah lebih lama!” dia mulai menggenggam tanganku dengan jemarinya yang hangat, wanginya seperti hujan.
“kak Risa ayo pulang, besok ulang tahunmu” suara yang sangat ku kenal, “Tiar? Dimana dia?” aku mencari-cari.
“kau juga tidak begitu menyukai Tiar, kau suka tempat ini kan? Tinggalah lebih lama!” suara nya semakin berat.
“Risa jangan dengarkan dia!” Kris datang dari belakang memelukkku erat.
“kau suka tempat ini kan, tinggalah lebih lama!” tangan nya mencengkram kuat, suara nya semakin berat wajahnya menghitam, sebagian yang lain di belakang meneteskan air liur dari mulut mereka, yang lainnya lagi perutnya membuncit dengan wajah memerah.
Aku ketakutan setengah mati tapi dia mencengkram tanganku kuat sekali, ya tuhan aku harusnya mendengarkan nasihat ibu, aku ingin pulang.
“aku mau pulang, aku tidak suka kalian dan aku tidak mau tinggal!!” aku berteriak sekuat tenaga.
Mata ku terbuka, nafasku tersenggal dan keringat dingin mengucur membasahi pakaian ku,
“Kris..” aku memanggilnya dia masih terduduk di sampingku sama seperti saat aku terpejam.
“apa ku bilang mereka menyukaimu” kris menatap ku seadanya.
“Tiar ayo kita pulang sebentar lagi senja!” Kris berdiri lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku bangun.
“oke, lain kali kita ke sini lagi ya!” kata Tiar sambil berlari menghampiri kami.
“ya..” aku terbangun dan membuka mata.
“kau suka tempat ini kan? Kami juga menyukaimu tinggallah lebih lama di sini kau bisa berimajinasi sepanjang malam dan berlari lari mengejar angin sepanjang terang. Bukankah itu menyenangkan?” dia dengan suara lembut dan beberapa yang lain tersenyum hangat di belakangnya
“ka..lian… siapa?” aku bertanya terbata.
“tidak ada roh jahat di sini Risa, kami hanya membantumu mendapatkan ketenangan, kau suka tempat ini kan? Kami juga menyukaimu tinggalah lebih lama!”
“a.. aku tidak bisa aku sudah berjanji pulang pada ibu.”
“ibu berbeda dengan mu Risa dia tidak mengerti, kau suka tempat ini kan? Kami juga menyukaimu Tinggalah lebih lama!” dia mulai menggenggam tanganku dengan jemarinya yang hangat, wanginya seperti hujan.
“kak Risa ayo pulang, besok ulang tahunmu” suara yang sangat ku kenal, “Tiar? Dimana dia?” aku mencari-cari.
“kau juga tidak begitu menyukai Tiar, kau suka tempat ini kan? Tinggalah lebih lama!” suara nya semakin berat.
“Risa jangan dengarkan dia!” Kris datang dari belakang memelukkku erat.
“kau suka tempat ini kan, tinggalah lebih lama!” tangan nya mencengkram kuat, suara nya semakin berat wajahnya menghitam, sebagian yang lain di belakang meneteskan air liur dari mulut mereka, yang lainnya lagi perutnya membuncit dengan wajah memerah.
Aku ketakutan setengah mati tapi dia mencengkram tanganku kuat sekali, ya tuhan aku harusnya mendengarkan nasihat ibu, aku ingin pulang.
“aku mau pulang, aku tidak suka kalian dan aku tidak mau tinggal!!” aku berteriak sekuat tenaga.
Mata ku terbuka, nafasku tersenggal dan keringat dingin mengucur membasahi pakaian ku,
“Kris..” aku memanggilnya dia masih terduduk di sampingku sama seperti saat aku terpejam.
“apa ku bilang mereka menyukaimu” kris menatap ku seadanya.
“Tiar ayo kita pulang sebentar lagi senja!” Kris berdiri lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku bangun.
“oke, lain kali kita ke sini lagi ya!” kata Tiar sambil berlari menghampiri kami.
Nafasku masih tersengal. Sedetik aku melihat kebelakang “tinggalah lebih lama!” mereka melambai memanggil.
Cerpen Karangan: Yuliana Nasution
Facebook: Www.facebook.com/liel.princest
Facebook: Www.facebook.com/liel.princest
sumber : via cerpenmu
Tag :
cerita horror,
kematian diatas dendam
By : Unknown
Setelah sang Dosen mengakhiri perkuliahan di hari Rabu siang ini, puluhan mahasiswa dan mahasiswi pun bergegas meninggalkan ruangan dengan deret-deret kursi yang berada di dalamnya.
“Diandra! Tunggu!!!,” suara Bima terdengar cukup keras memanggil seorang gadis yang berada cukup jauh dari hadapannya, langkah kaki Bima pun dipercepat.
Diandra terhenti, lalu ia menoleh ke belakang, dilihat seorang lelaki yang berlari menghampirinya. “Eh, Bima… ada apa?,” tanya Diandra pada Bima yang kini hanya terpaut dua langkah saja. Bima tak langsung menjawab pertanyaan Diandra tersebut, ia mengatur ritme napasnya terlebih dahulu.
“Ada apa Bim?,” Diandra kembali bertanya.
“Begini… aku mau tanya sama kamu, kenapa Maya nggak masuk kuliah hari ini?, dari kemarin juga nggak ada kabar sama sekali.”
“Aku nggak tahu Bim,” ucap Diandra singkat.
“Kamu kan, sahabatnya?,”
“Iya, tapi aku bener-bener nggak tahu Bima. Dari hari kemarin, aku juga nggak ketemu sama Maya,” jelas Diandra meyakinkan.
“Hmm… o, ya, sekarang aku mau ke kosan Maya. Kamu mau ikut?,” ajak Bima pada gadis berambut lurus sebahu itu.
“Aku nggak bisa.”
“Kalau begitu, aku duluan ya… bye!,” seru Bima dan akhirnya melenggang pergi.
“Asal kamu tahu Bim, MAYA UDAH MATI!!!,”
“Diandra! Tunggu!!!,” suara Bima terdengar cukup keras memanggil seorang gadis yang berada cukup jauh dari hadapannya, langkah kaki Bima pun dipercepat.
Diandra terhenti, lalu ia menoleh ke belakang, dilihat seorang lelaki yang berlari menghampirinya. “Eh, Bima… ada apa?,” tanya Diandra pada Bima yang kini hanya terpaut dua langkah saja. Bima tak langsung menjawab pertanyaan Diandra tersebut, ia mengatur ritme napasnya terlebih dahulu.
“Ada apa Bim?,” Diandra kembali bertanya.
“Begini… aku mau tanya sama kamu, kenapa Maya nggak masuk kuliah hari ini?, dari kemarin juga nggak ada kabar sama sekali.”
“Aku nggak tahu Bim,” ucap Diandra singkat.
“Kamu kan, sahabatnya?,”
“Iya, tapi aku bener-bener nggak tahu Bima. Dari hari kemarin, aku juga nggak ketemu sama Maya,” jelas Diandra meyakinkan.
“Hmm… o, ya, sekarang aku mau ke kosan Maya. Kamu mau ikut?,” ajak Bima pada gadis berambut lurus sebahu itu.
“Aku nggak bisa.”
“Kalau begitu, aku duluan ya… bye!,” seru Bima dan akhirnya melenggang pergi.
“Asal kamu tahu Bim, MAYA UDAH MATI!!!,”
—
Diandra Alexa. Gadis berusia 19 tahun-an ini memiliki wajah oriental, dengan mata sipit, hidung mungil ditambah kuning langsat yang mewarnai kulit mulusnya. Sejak dua tahun yang lalu, Diandra telah terdaftar sebagai mahasiswi jurusan teknik kimia di sebuah Universitas swasta yang ada di kota Bandung.
Masih lekat di ingatannya, saat Maya menggandeng mesra lengan Bima. Ya, sekitar 3 hari yang lalu, lebih tepatnya hari Sabtu; malam Minggu. Kejadian itu tak henti terbayang dalam pikirannya, seperti roll film yang diputar terus menerus.
Masih lekat di ingatannya, saat Maya menggandeng mesra lengan Bima. Ya, sekitar 3 hari yang lalu, lebih tepatnya hari Sabtu; malam Minggu. Kejadian itu tak henti terbayang dalam pikirannya, seperti roll film yang diputar terus menerus.
“Diandra?, ternyata… kamu juga disini?,” tegur Maya.
“Eh, iya May… silahkan duduk!,” jawab Diandra sembari tersenyum—SENYUMAN PALSU!.
“Maaf Diandra… aku dan Bima mau duduk disana!,” balas Maya sambil menunjuk sebuah tempat dan akhirnya berlalu.
“Eh, iya May… silahkan duduk!,” jawab Diandra sembari tersenyum—SENYUMAN PALSU!.
“Maaf Diandra… aku dan Bima mau duduk disana!,” balas Maya sambil menunjuk sebuah tempat dan akhirnya berlalu.
Sepenggal malam di Café ini, tak mungkin Diandra lupakan—TAK AKAN PERNAH!!!. Bagaimana tidak, Bima adalah lelaki yang ia cintai, sedang gadis cantik nan anggun itu ialah sahabatnya.
Diandra tak pernah menceritakan tentang perasaannya pada siapa pun, termasuk Maya. Begitu juga sebaliknya, Maya tak pernah bercerita tentang perasaan yang sama dengan Diandra. Tahu-tahu… Maya dan Bima sudah jadian!, ouhhhh hebat!!!.
“Aku nggak akan pernah biarkan kamu hidup bahagia!, dan Bima akan jadi milik ku!, camkan itu!!!,” kata-kata yang selalu memberontak dalam batin Diandra. Api kebencian baru saja membara.
Diandra tak pernah menceritakan tentang perasaannya pada siapa pun, termasuk Maya. Begitu juga sebaliknya, Maya tak pernah bercerita tentang perasaan yang sama dengan Diandra. Tahu-tahu… Maya dan Bima sudah jadian!, ouhhhh hebat!!!.
“Aku nggak akan pernah biarkan kamu hidup bahagia!, dan Bima akan jadi milik ku!, camkan itu!!!,” kata-kata yang selalu memberontak dalam batin Diandra. Api kebencian baru saja membara.
Pada hari Senin, setelah kejadian malam itu. Tepat pukul 20.30 WIB, Diandra pergi ke kosan Maya.
“Tok… tok… tok…” pintu ber-cat cokelat itu Diandra ketuk berulang kali. Sesaat kemudian, pintu pun tersibak.
“Eh… Diandra, mari masuk!,” ajak Maya dengan ramah. Lalu Diandra masuk, kemudian duduk di kursi.
“Sorry, ya… aku telat,” ucap Diandra.
“Iya, gapapa kok, tenang aja lagi… tugas kelompok ini kan dikumpulinnya minggu depan,” jawab Maya.
“Hehehe… iya. Nih, aku bawain kamu juice stroberi!,” seru Diandra, sambil memberikan juice dalam wadah gelas plastik.
“Wii… thank ya,” jawab Maya. Gadis berperawakan bak model ini memang sangat suka dengan juice stroberi. Tanpa waktu lama, Maya pun segera meminum juice tersebut.
Tetapi setelah beberapa teguk, ia meletakan gelas itu ke atas meja. Ia merasa lehernya tercekik begitu kuat, nafasnya pun tersengal-sengal. Akhirnya ia tak bisa bernafas sama sekali dan mata belo itu melotot sempurna.
“Hahaha… ternyata semudah itu melenyapkan kamu dari dunia ini!. MATI SEKARANG KAMU MAY!!!, hahaha…” ucap Diandra penuh kepuasan. Lalu Diandra, menggusur tubuh Maya dan dibiarkan tergeletak di lantai kamarnya. Tak lupa ia memakai sarung tangan yang sangat tipis untuk menghilangkan sidik jarinya. Kemudian, Diandra mengeluarkan sebotol racun yang ada di saku celana jeans-nya dan di letak kan tak jauh dari samping Maya. Sementara juice tadi, ia tumpahkan di dekat lantai dan sebagiannya lagi di atas dada sahabatnya itu, serta wadahnya ia letak kan di lantai juga.
“Huh… beres!!!,” seru Diandra dan senyuman manis tersungging lebar di bibir tipisnya.
Diandra pun segera bergegas pergi meninggalkan Maya yang sudah tak bernyawa. Hati nurani telah ternoda tinta hitam kebencian. Gelora dendam dalam jiwa, berujung KEMATIAN!!!.
“Tok… tok… tok…” pintu ber-cat cokelat itu Diandra ketuk berulang kali. Sesaat kemudian, pintu pun tersibak.
“Eh… Diandra, mari masuk!,” ajak Maya dengan ramah. Lalu Diandra masuk, kemudian duduk di kursi.
“Sorry, ya… aku telat,” ucap Diandra.
“Iya, gapapa kok, tenang aja lagi… tugas kelompok ini kan dikumpulinnya minggu depan,” jawab Maya.
“Hehehe… iya. Nih, aku bawain kamu juice stroberi!,” seru Diandra, sambil memberikan juice dalam wadah gelas plastik.
“Wii… thank ya,” jawab Maya. Gadis berperawakan bak model ini memang sangat suka dengan juice stroberi. Tanpa waktu lama, Maya pun segera meminum juice tersebut.
Tetapi setelah beberapa teguk, ia meletakan gelas itu ke atas meja. Ia merasa lehernya tercekik begitu kuat, nafasnya pun tersengal-sengal. Akhirnya ia tak bisa bernafas sama sekali dan mata belo itu melotot sempurna.
“Hahaha… ternyata semudah itu melenyapkan kamu dari dunia ini!. MATI SEKARANG KAMU MAY!!!, hahaha…” ucap Diandra penuh kepuasan. Lalu Diandra, menggusur tubuh Maya dan dibiarkan tergeletak di lantai kamarnya. Tak lupa ia memakai sarung tangan yang sangat tipis untuk menghilangkan sidik jarinya. Kemudian, Diandra mengeluarkan sebotol racun yang ada di saku celana jeans-nya dan di letak kan tak jauh dari samping Maya. Sementara juice tadi, ia tumpahkan di dekat lantai dan sebagiannya lagi di atas dada sahabatnya itu, serta wadahnya ia letak kan di lantai juga.
“Huh… beres!!!,” seru Diandra dan senyuman manis tersungging lebar di bibir tipisnya.
Diandra pun segera bergegas pergi meninggalkan Maya yang sudah tak bernyawa. Hati nurani telah ternoda tinta hitam kebencian. Gelora dendam dalam jiwa, berujung KEMATIAN!!!.
—
Kembali pada Rabu siang,
Langkah Bima terhenti setelah ia melihat kerumunan orang di dekat kosan Maya. “Ada apa ya, pak?, kok banyak orang gini?,”tanya Bima pada seorang bapak berkumis tebal.
“Ada mayat di dalam.”
“Maksud bapak?,” Bima bertanya lagi, ia masih belum mengerti atas perkataan Bapak itu, terlihat dari raut wajah Bima yang sangat kebingungan. Belum sempat bapak berkumis tebal menjawab pertanyaan Bima, beberapa orang polisi membawa sekantung plastik mayat yang berisi, lewat di hadapannya. Bau busuk begitu menusuk hidung, tak heran semua orang yang ada disitu menutup indera penciumannya kuat-kuat, bahkan ada beberapa orang yang muntah-muntah.
“Mayat siapa itu pak?,” Bima kembali bertanya.
“Kalau tidak salah, bernama Maya,” Jawab Bapak itu.
“APA? MAYA?” tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lemas, iya tak percaya kekasih yang sangat di cintainya itu, pergi meninggalkan Bima untuk selama-lamanya.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Bima pun pergi ke kantor polisi setempat. Tak lupa, ia juga memberitahu Diandra.
Langkah Bima terhenti setelah ia melihat kerumunan orang di dekat kosan Maya. “Ada apa ya, pak?, kok banyak orang gini?,”tanya Bima pada seorang bapak berkumis tebal.
“Ada mayat di dalam.”
“Maksud bapak?,” Bima bertanya lagi, ia masih belum mengerti atas perkataan Bapak itu, terlihat dari raut wajah Bima yang sangat kebingungan. Belum sempat bapak berkumis tebal menjawab pertanyaan Bima, beberapa orang polisi membawa sekantung plastik mayat yang berisi, lewat di hadapannya. Bau busuk begitu menusuk hidung, tak heran semua orang yang ada disitu menutup indera penciumannya kuat-kuat, bahkan ada beberapa orang yang muntah-muntah.
“Mayat siapa itu pak?,” Bima kembali bertanya.
“Kalau tidak salah, bernama Maya,” Jawab Bapak itu.
“APA? MAYA?” tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lemas, iya tak percaya kekasih yang sangat di cintainya itu, pergi meninggalkan Bima untuk selama-lamanya.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Bima pun pergi ke kantor polisi setempat. Tak lupa, ia juga memberitahu Diandra.
“Menurut hasil otopsi sementara ini, saudari Maya meninggal karena racun sianida. Pada saat di TKP, kami juga menemukan barang bukti berupa botol yang berisi racun tersebut. Kuat dugaan, saudari Maya bunuh diri,” jelas Pak polisi.
“Nggak!!!, Nggak mungkin!!!.” Bima terlihat sangat terpukul atas kepergian Maya.
“Sudahlah Bim, kita harus terima semua ini!, ucap Diandra berusaha menenangkan.
“Nggak!!!, Nggak mungkin!!!.” Bima terlihat sangat terpukul atas kepergian Maya.
“Sudahlah Bim, kita harus terima semua ini!, ucap Diandra berusaha menenangkan.
Hari-hari terus berlalu, kini hanya Diandra-lah yang setia menemani Bima. Perlahan tapi pasti, Bima pun mulai melupakan Maya. Ya, sekarang Bima mencintai Diandra.
Sore yang indah, angin semilir berhembus begitu damai. Rumput taman terhampar hijau.
“Diandra…” ucap Bima lembut.
“Iya, apa Bim?,” tanya Diandra.
“Aku cinta sama kamu, kamu mau jadi pacar aku?,”
Diandra hanya mengangguk. “Akhirnya, kamu jadi milik aku Bim!,” bisik hatinya. Senja yang menjingga, menjadi saksi bisu antara cinta yang baru saja terpadu.
Bima, lelaki yang berbadan tegap itu tak mengetahui bahwa Diandra-lah yang membunuh Maya. Entah apa yang akan dilakukan Bima jika rahasia itu terkuak.
Sore yang indah, angin semilir berhembus begitu damai. Rumput taman terhampar hijau.
“Diandra…” ucap Bima lembut.
“Iya, apa Bim?,” tanya Diandra.
“Aku cinta sama kamu, kamu mau jadi pacar aku?,”
Diandra hanya mengangguk. “Akhirnya, kamu jadi milik aku Bim!,” bisik hatinya. Senja yang menjingga, menjadi saksi bisu antara cinta yang baru saja terpadu.
Bima, lelaki yang berbadan tegap itu tak mengetahui bahwa Diandra-lah yang membunuh Maya. Entah apa yang akan dilakukan Bima jika rahasia itu terkuak.
Malam telah larut, Diandra tak bisa terpejam. Ia mengambil diary yang sudah lama tak di isinya. Tangannya pun mulai melukiskan kata-kata yang tersirat.
“Bima sekarang jadi miliku. Pedahal akulah yang membunuh Maya, mantannya. Ya, sahabatku sendiri!. Hebat kan!!!, kamu boleh bilang aku licik, penghianat dan sebagainya, terserah!!!. Yang penting aku sekarang bahagia, dendamku sudah terbalaskan, dan… sekarang Bima menjadi miliku. Aku memang egois. Aku akui. Aku memang pendendam!, aku juga tak memungkiri. semua yang aku inginkan harus terwujud, bagaimana pun caranya. Bahkan membunuh sekali pun, aku sanggup!,”
Tiba-tiba lampu yang ada di kamarnya mati. Beberapa detik kemudian, menyala lagi… lalu Diandra melihat sesosok wanita di sudut kamarnya. Sosok yang mirip dengan Maya, rambutnya yang panjang menutupi sebagian sisi kiri wajahnya, mata kanannya melotot. Bau bangkai tercium dari makhluk itu.
“Siapa kamu?,” teriak Diandra ketakutan. Tetapi, sosok itu semakin mendekat… medekat!!!, dan terus mendekat!!!.
Diandra semakin ketakutan, wajahnya menjadi pucat pasi. Sosok itu terus mendekat, kedua tangannya dengan kuku yang sangat panjang dan tajam hendak mencekik leher Diandra.
“Bima sekarang jadi miliku. Pedahal akulah yang membunuh Maya, mantannya. Ya, sahabatku sendiri!. Hebat kan!!!, kamu boleh bilang aku licik, penghianat dan sebagainya, terserah!!!. Yang penting aku sekarang bahagia, dendamku sudah terbalaskan, dan… sekarang Bima menjadi miliku. Aku memang egois. Aku akui. Aku memang pendendam!, aku juga tak memungkiri. semua yang aku inginkan harus terwujud, bagaimana pun caranya. Bahkan membunuh sekali pun, aku sanggup!,”
Tiba-tiba lampu yang ada di kamarnya mati. Beberapa detik kemudian, menyala lagi… lalu Diandra melihat sesosok wanita di sudut kamarnya. Sosok yang mirip dengan Maya, rambutnya yang panjang menutupi sebagian sisi kiri wajahnya, mata kanannya melotot. Bau bangkai tercium dari makhluk itu.
“Siapa kamu?,” teriak Diandra ketakutan. Tetapi, sosok itu semakin mendekat… medekat!!!, dan terus mendekat!!!.
Diandra semakin ketakutan, wajahnya menjadi pucat pasi. Sosok itu terus mendekat, kedua tangannya dengan kuku yang sangat panjang dan tajam hendak mencekik leher Diandra.
Dengan sekuat tenaga, Diandra berlari menuruni tangga yang panjang dan meliuk-liuk. Sosok itu terus mengikutinya. Kaki Diandra tersandung pada anak tangga, dan ia pun jatuh. Terguling beberapa kali. Dan “Bukkkk!!!” kepalanya terhantam pada lantai dasar. Diandra meninggal seketika, sementara sosok itu pun menghilang.
Bendera kuning tertancap tegak di depan halaman rumah Diandra, banyak orang di situ. Termasuk Bima.
“Kamu, pacarnya?” tanya ibu Diandra.
“Iya, bu.”
“Ini, ibu temukan Diary Diandra, mungkin kamu harus membacanya.” Ucap ibu itu sambil menyerahkan diary anaknya.
Bima tak percaya, ternyata Diandra-lah pembunuh Maya. Andai Diandra tahu, kebencian adalah awal dari sebuah kehancuran. Membalas dendam tidak akan meyelesaikan masalah. Andai juga Diandra mengerti, mencintailah sekedarnya saja, jangan mencintai seseorang secara berlebihan. Yang jelas!, jangan dibutakan oleh cinta. Mungkin kematian di atas dendam ini pun tak akan pernah terjadi.
“Kamu, pacarnya?” tanya ibu Diandra.
“Iya, bu.”
“Ini, ibu temukan Diary Diandra, mungkin kamu harus membacanya.” Ucap ibu itu sambil menyerahkan diary anaknya.
Bima tak percaya, ternyata Diandra-lah pembunuh Maya. Andai Diandra tahu, kebencian adalah awal dari sebuah kehancuran. Membalas dendam tidak akan meyelesaikan masalah. Andai juga Diandra mengerti, mencintailah sekedarnya saja, jangan mencintai seseorang secara berlebihan. Yang jelas!, jangan dibutakan oleh cinta. Mungkin kematian di atas dendam ini pun tak akan pernah terjadi.
SELESAI
Cerpen Karangan: Iis Kusniawati
Facebook: Iis Kusniawati
Facebook: Iis Kusniawati
sumber : via cerpenmu
Tag :
cerita horror,
kembaran hantu
By : Unknown
“Aaaaaa…” seruku keras.
Aku terbangun dari mimpi burukku. Sebuah mimpi yang selalu sama setiap harinya, membuatku ketakutan setengah mati. Aku mengusap peluh yang terus menetes di keningku. lalu aku menghembuskan nafas kesal.
“Amel.. ada apa, sih” ucap sepupuku yang terbangun. “ng..ng.. nggak kok, nggak papa. udah, kamu tidur aja, Shiel” jawabku. Shiella kemudian mendengus kesal, lalu tidur kembali.
Aku terbangun dari mimpi burukku. Sebuah mimpi yang selalu sama setiap harinya, membuatku ketakutan setengah mati. Aku mengusap peluh yang terus menetes di keningku. lalu aku menghembuskan nafas kesal.
“Amel.. ada apa, sih” ucap sepupuku yang terbangun. “ng..ng.. nggak kok, nggak papa. udah, kamu tidur aja, Shiel” jawabku. Shiella kemudian mendengus kesal, lalu tidur kembali.
“Kenapa ya. Semenjak aku liburan di rumah tante, aku selalu mimpi buruk” ucapku heran.
“Haaaa, jadi, kamu juga mimpi buruk, mel. Aku juga, lho..” ucap Shiella bingung.
Aku mengangkat bahu, lalu menyesap teh ku. Tak kusangka, bayangan seseorang melintas di belakang sepupuku.
Aku tersedak. Bayangan itu, sangat mirip denganku.
“A, a, aaameel, ken, kenappa or, orang itu mir, mirip de, denganmu” ucap Sheilla terbata-bata, sambil menunjuk belakangku. Aku menengok ke belakang.
serentak, kami pun berlari tak tentu arah sabil menjerit. “Aaaaaaa…” ucapku kesakitan. Terlambat. Tubuhku melayang di udara. Aku terjatuh dari anak tangga saat lari menghindari bayangan itu yang terus mengejarku.
“Haaaa, jadi, kamu juga mimpi buruk, mel. Aku juga, lho..” ucap Shiella bingung.
Aku mengangkat bahu, lalu menyesap teh ku. Tak kusangka, bayangan seseorang melintas di belakang sepupuku.
Aku tersedak. Bayangan itu, sangat mirip denganku.
“A, a, aaameel, ken, kenappa or, orang itu mir, mirip de, denganmu” ucap Sheilla terbata-bata, sambil menunjuk belakangku. Aku menengok ke belakang.
serentak, kami pun berlari tak tentu arah sabil menjerit. “Aaaaaaa…” ucapku kesakitan. Terlambat. Tubuhku melayang di udara. Aku terjatuh dari anak tangga saat lari menghindari bayangan itu yang terus mengejarku.
Saat aku sadar, semua orang tengah menangis di sampingku. Kucari-cari sesosok orang yang menyebabkan aku seperti ini, dikejar-kejar bayangan yang baru kutahu adalah saudari kembarku yang dibunuh oleh tanteku.
Dan saat kulihat bayangan tanteku, aku langsung bangkit duduk.
Semua orang tampak terkejut melihat ulahku, apalagi melihat aku yang melotot kepada tanteku.
“Amel…” ucap tanteku bingung.
“Apa yang tante lakukan pada kembaranku, tante.” ucapku.
Tanteku tampak terkejut dengan perkataanku. Mamaku yang tidak tahu kalau aku mempunyai kembaran heran dan bertanya.
Akhirnya aku meenjelaskan semuanya, apa yang dikatakan oleh arwah saudariku pada saat aku tak sadar.
Dan saat kulihat bayangan tanteku, aku langsung bangkit duduk.
Semua orang tampak terkejut melihat ulahku, apalagi melihat aku yang melotot kepada tanteku.
“Amel…” ucap tanteku bingung.
“Apa yang tante lakukan pada kembaranku, tante.” ucapku.
Tanteku tampak terkejut dengan perkataanku. Mamaku yang tidak tahu kalau aku mempunyai kembaran heran dan bertanya.
Akhirnya aku meenjelaskan semuanya, apa yang dikatakan oleh arwah saudariku pada saat aku tak sadar.
Akhirnya, tanteku mengakui semua perbuatannya di masa lalu. Ternyata tanteku membunuh saudariku itu pada saat ia baru lahir, dan mama belum sempat melihatnya. Alasannya, tanteku iri pada mama yang notabene adalah adik kandungnya sendiri.
Tanteku iri pada mama karena mama mendapat suami yang kaya raya. Dia sendiri mendapat suami yang hidupnya pas-pasan.
Pada saat mama hamil dan melahirkan aku dan kembarnku, tanteku mempunyai rencana jahat dan membunuh saudariku.
Tanteku iri pada mama karena mama mendapat suami yang kaya raya. Dia sendiri mendapat suami yang hidupnya pas-pasan.
Pada saat mama hamil dan melahirkan aku dan kembarnku, tanteku mempunyai rencana jahat dan membunuh saudariku.
Tak kusangka, tantekuu sendiri yang membunuh sadariku…
Cerpen Karangan: Sa’diyah Kumaerroh
sumber : via cerpenmu
Tag :
cerita horror,
diary berdarah
By : Unknown
Bel istirahat tanda anak-anak boleh pulang, berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Tetapi ada 1 anak yang tertinggal di kelas namanya Desy, karena dia harus mengerjakan remidi yang diberikan gurunya.
Setelah remidi dia bergegas keluar kelas. Untuk menuju gerbang sekolah dia harus melewati ayunan berwarna merah. Ketika ia melihat ayunan itu ia melihat diary bersampul cokelat. Desy pun memungut diary itu. Karena sudah terlalu siang, Desy pun memasukan diary itu ke tas ranselnya, dan berjalan pulang.
Di rumah, Desy segera ganti baju dan mengerjakan PR. Tetapi ketika memasukan tangannya ke dalam ransel, Desy pun teringat akan diary itu dan mengambilnya. Ternyata halaman diary itu kosong dan hanya berisi 2 halaman saja. Desy pun meletakan diary itu di atas meja, lalu membuat PR yang belum sempat ia buat.
Besoknya ketika pulang sekolah, tiba-tiba pacarnya, Dylan tiba-tiba memutusnya dengan alasan sudah tidak mencintainya. Dinda pun berlari pulang karena sedih. Di kamarnya dia segera mengambil diary cokelat yang ditemukannya di ayunan. Di diary itu dia menuliskan “aku ingin Dylan kembali mencintaiku lagi.
Tiba-tiba Hp Desy berbunyi tanda ada SMS. Ternyata dari Dylan. Isinya begini “Desy, setelah aku berpikir lagi, aku masih mencintaimu.” Desy senang, tapi dia telah berpikir ingin memutusnya saja.
Setelah berpikir agak lama, dia mulai merasa bahwa diary itu yang menyebabkan Dylan kembali mencintainya. Lalu dia mencoba menulis “semoga Kak Nilson membelikanku boneka beruang besar” tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya. “Masuk.” Seru Desy. Ternyata Kak Nilson membelikannya boneka beruang yang besar.
Setelah Kak Nilson keluar, dia mengisi halaman diary itu. Dan anehnya semua yang dia tuliskan pasti terjadi. Tak hampir 2 halaman pun habis. Tiba tiba dia merasa mengantuk dan tidur.
Besoknya setelah pulang sekolah dia merasa ada yang membisikan agar jangan mengisi diary itu lagi dan mengembalikan ke ayunan. Tapi di hanya mengira halusinasi. Dia pun mengikuti pelajaran dengan baik.
Pulangnya dia melihat. Boneka lucu yang sangat mahal, sehingga tidak mungkin menggunakan uang sakunya. Tetapi dia ingat diary cokelatnya. Dia segera berlari pulang dan menuliskan keinginannya. Ketika bolpointnya diangkat, tiba-tiba dia ditarik masuk ke dalam diary. Lalu dia merasa pusing dan pingsan sesaat. Ketika dia sadar dia sudah berada di ruangan. Dihadapannya ada perempuan yang langsung mencekiknya hingga mati.
Esoknya sang diary kembali mencari tumbal lagi.
The And
Cerpen Karangan: Jessica Pramesti P
sumber :via cerpenmu
Tag :
cerita horror,
samun punya cerita
By : Unknown
Di balik matahari yang mulai mengantuk, di sela-sela jari kaki Gunung Semeru; yang mereka sebut sebagai negeri di atas awan walaupun masih (selalu) di bawah sekotak misteri-Nya.
Seorang pemuda kencing di balik semak.
Pesing tak kentara, baunya tercium sampai Ranu Kumbolo. Surga pun tercemar karena bau pesing itu. Sembari mengutuk dinginnya angin yang baru saja menemaninya pulang turun dari puncak gunung, pemuda itu berbalik dengan selangk*ngan yang masih hina.
Seorang Bapak berumur 40-an menghampirinya; padahal si pemuda belum selesai menarik resleting celana PDL kotornya.
Bajunya coklat kumal tak karuan. Mungkin terbuat dari kulit binatang hewan yang hidup di sekitar sini, pikir si pemuda. Ada sedikit bercak darah kering di lengan baju Bapak itu.
“Dik, lain kali jangan kencing di sini.” Tangan Bapak itu kasar, mungkin karena harus melawan kerasnya alam Semeru; paku Pulau Jawa. Atau mungkin hanya karena terlalu lama memegang kapak untuk mencari kayu bakar untuk makan malam atau untuk sekedar bersenang-senang belaka.
“Ah… oh… i…iya… Pak. Maaf, maaf…” buru-buru pemuda itu menarik resletingnya sampai jari telunjuknya hampir terjepit.
“Nanti yang nungguin marah.”
Pemuda itu agak bergidik mendengar kata ‘nungguin’ walaupun dia tak percaya dengan takhayul.
“Waduh, iya, Pak. Saya nggak akan kencing di sini lagi.”
“Iya, jangan lagi.” Bapak itu menepuk pundak si pemuda dengan ramah. Larunglah niat si pemuda untuk segera kabur dari sana.
Dari teguran halus Si Bapak, datanglah pembicaraan sederhana di sebelah semak tadi: di atas kayu rontok yang sepertinya sudah lama terbaring di sana. Sepuntung Rok*k Gudang Garam Filter menemani bibir kering si pemuda. Asapnya menjadi orang ketiga dari obrolan mereka.
“Bapak mau rok*k?”
“Saya udah lama nggak ngerok*k. Saya udah janji ke istri saya”
“Kalau Bapak punya anak di sini?”
“Punya, tapi sudah meninggal.”
“Wah, maaf, Pak.”
“Sudah, tak apa. Sudah lama sekali lagipula.”
“Kalau istri, Pak?”
“Meninggal bersama kedua anak saya.”
Merasa tak nyaman membicarakan orang yang sudah tidak ada, si pemuda mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang sedang hangat
Wanita, Indonesia, hingga Gayus Tambunan menyangkut dalam satu setengah jam yang tak terasa. Hingga akhirnya si pemuda merasa sudah terlalu senja. Dia harus bertemu temannya di pos awal untuk mengejar kereta.
“Pak, maaf, saya harus ke teman-teman saya. Mereka udah nunggu di bawah.”
“Oh, silahkan, silahkan.”
Si pemuda mengambil ransel-delapan-kiogramnya dan bersiap untuk kembali berangkat. Kembali, merasa tidak enak jika pergi tanpa memberi sebuah ‘pertanyaan penutup’, si pemuda memberi pertanyaan terakhir.
“Oh iya, Pak, maaf, kalau rumah Bapak di mana?”
“Di sana.” Bapak itu menunjuk semak-semak tempat si pemuda kencing tadi.
Cerpen Karangan: Finlan Adhitya Aldan
Blog: Finlanadhitya.blogspot.com
Blog: Finlanadhitya.blogspot.com
sumber : via cerpenmu
Tag :
cerita lucu,
amnesia
By : Unknown
Kalau ditanya apa keinginanku saat ini, pasti dengan yakin bakal kujawab pengen banget amnesia. Kaya’nya seru juga. Nggak tahu, terlalu banyak yang dipikirin, terlalu banyak masalah buat aku ngerasa agak nggak waras.
Handphoneku bergetar pelan, aku melirik ke layarnya sekilas. Vino.
“Halo,” Sahutku.
“Sayang, lagi ngapain?” Aku mencibir dalam hati, pasti ada maunya.
“Lagi kerja lah. Ada apa?” Tanyaku.
“Malam ini aku nggak bisa ikut acara selamatan adikmu ya. Disuruh bos ke luar kota, ada urusan penting,”
“Halo,” Sahutku.
“Sayang, lagi ngapain?” Aku mencibir dalam hati, pasti ada maunya.
“Lagi kerja lah. Ada apa?” Tanyaku.
“Malam ini aku nggak bisa ikut acara selamatan adikmu ya. Disuruh bos ke luar kota, ada urusan penting,”
Nah benar kan dugaanku. Selalu aja kaya’ gitu. Sampai-sampai aku sudah hafal dengan kelakuannya. Yang ada dipikirannya cuma kerja, kerja dan kerja.
Vino selalu menomorduakan aku dalam hal apa aja. Kerjaan, keluarga, temannya, pokoknya semuanya. Anehnya, sampai hari ini aku masih bisa bertahan.
Dulu, aku memang sering ngambek. Tapi lama-lama jadi kebal juga. Jadi sekarang, aku nggak perduli lagi Vino mau ngapain, mau kemana, dll. Mungkin seharusnya aku cari selingkuhan aja.
“Ya sudah nggak apa-apa. Hati–hati aja ya,” Sahutku dingin.
Jadi ingat acara nanti malam. Acara selamatan adikku Rea yang baru menyelesaikan S2 nya sekaligus acara tunangan dengan pacarnya. Seharusnya aku iri dengan acara ini. Tapi berharap Vino memikirkan soal kelanjutan hubunganku sama dia, sama aja kaya’ menunggu matahari jadi dua. Nggak mungkin!
Harapanku cuma satu, mama nggak bandingin aku dan Rea. Wajar aja beda, Rea punya pacar yang kelakuannya manis banget sampai kadang aku jadi eneg atau lebih tepatnya iri. Sedangkan aku cuma punya Vino yang syukur-syukur masih ingat hari ulang tahunku.
Sudah jam dua belas siang, waktunya makan siang. Dulu waktu awal jadian, Vino selalu menjemputku buat makan siang. Sekarang, mimpi kali.
“Sya, mau makan apa?” Teriak Windi dari mejanya.
“Pengen nyobain rumah makan Sunda yang baru tuh,” Sahutku.
“Yang dekat lampu merah?” Aku mengganguk mengiyakan.
“Pengen nyobain rumah makan Sunda yang baru tuh,” Sahutku.
“Yang dekat lampu merah?” Aku mengganguk mengiyakan.
Aku beranjak dari kursiku. Banyak kabel berserakan di lantai. Kok nggak diberesin sih, runtukku dalam hati.
Tiba-tiba kaki kananku tersangkut salah satu kabel. Aku mengangkat kakiku dan berusaha melepaskan kabel yang tersangkut. Baru aja kaki kananku terlepas dari kabel, gantian kaki kiriku yang tersangkut. Dan nggak tahu kenapa, aku kehilangan keseimbangan.
Sekelilingku jadi gelap.
Sekelilingku jadi gelap.
—
Kepalaku pusing. Aku membuka mataku perlahan. Silau, kupejamkan lagi mataku. Nggak lama terdengar suara ribut-ribut. Berisik, nggak tahu apa kepalaku sakit banget.
“Sya, kamu nggak apa-apa?!” Seorang ibu bermake up menor memegang tanganku erat.
“Mbak, apanya yang terasa sakit?” Kali ini seorang cewek berwajah imut mengelus-elus tanganku.
“Mbak, apanya yang terasa sakit?” Kali ini seorang cewek berwajah imut mengelus-elus tanganku.
Aku melihat sekelilingku. Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa aku dikerumuni banyak orang?
Duuuh, tiba-tiba kepalaku terasa nyeri. Aku memegang kepalaku. Apa ini? Kenapa kepalaku diperban segala?
Duuuh, tiba-tiba kepalaku terasa nyeri. Aku memegang kepalaku. Apa ini? Kenapa kepalaku diperban segala?
“Jangan dipegang dulu, nak. Nanti jahitannya kebuka,” Aku menatap ibu bermake up menor tadi dengan muka bingung. Siapa orang-orang ini?
“Sya…!” Kali ini seorang cowok dengan dandanan eksekutif muda menyeruak dari kerumunan orang. Nafasnya terengah-engah. Sebelumnya dia mencium tangan ibu bermake menor.
“Sya…!” Kali ini seorang cowok dengan dandanan eksekutif muda menyeruak dari kerumunan orang. Nafasnya terengah-engah. Sebelumnya dia mencium tangan ibu bermake menor.
“Syukurlah kamu sudah sadar,” Cowok itu langsung memelukku. Kontan langsung kudorong dia menjauhiku.
“Kamu siapa?” Tanyaku bingung. Semua yang ada disitu langsung terdiam. Aku menatap mereka satu persatu, kenapa nggak ada seorangpun yang aku kenal?
“Sya, ini aku! Vino, pacar kamu!”
“Kamu siapa?” Tanyaku bingung. Semua yang ada disitu langsung terdiam. Aku menatap mereka satu persatu, kenapa nggak ada seorangpun yang aku kenal?
“Sya, ini aku! Vino, pacar kamu!”
Nampaknya cowok tadi belum menyerah juga. Tadi dia bilang apa? Pacar?! Sejak kapan aku suka tipe cowok kaya’ dia. Cakep sih, tapi mukanya nyebelin banget!
“Sya, ini Vino, pacar kamu. Masa kamu lupa,” Ibu bermake up menor menimpali.
“Sebenarnya kalian siapa?” Tanyaku. Ibu bermake menor langsung menangis. Seketika sekelilingku langsung gaduh, kepalaku jadi pusing lagi. Mendingan aku tidur aja.
“Sebenarnya kalian siapa?” Tanyaku. Ibu bermake menor langsung menangis. Seketika sekelilingku langsung gaduh, kepalaku jadi pusing lagi. Mendingan aku tidur aja.
—
Nampaknya tidurku lumayan lama. Waktu aku bangun, sekelilingku sudah sepi. Yang ada di depanku cuma cewek berwajah imut sedang membaca buku. Aku mencoba membaca judul bukunya, tapi nggak berhasil, pandanganku terasa kabur. Aku berdehem pelan.
“Mbak…” Buru-buru dia menyimpan bukunya.
“Minum ya, mbak,” Katanya sambil menyodorkan gelas berisi minuman kepadaku. Aku meneguknya sedikit.
“Mbak lupa sama aku juga?” Tanyanya sambil menatapku. Aku mengganguk.
“Aku Rea, adik mbak,” Sahutnya. Aku tersenyum.
“Cowok tadi yang ngaku pacarku, siapa dia?” Tanyaku penasaran.
“Itu mas Vino, pacar mbak. Ibu tadi tuh mama kita,” Jelas Rea. Aku melongo. Pacarku?!
“Trus, aku kenapa ada disini?”
“Tadi mbak jatuh di kantor. Kepala mbak kebentur lantai, terus kening mbak juga robek, makanya diperban kaya gini. Kata dokter, mbak kena amnesia ringan,” Jelasnya lagi.
“Minum ya, mbak,” Katanya sambil menyodorkan gelas berisi minuman kepadaku. Aku meneguknya sedikit.
“Mbak lupa sama aku juga?” Tanyanya sambil menatapku. Aku mengganguk.
“Aku Rea, adik mbak,” Sahutnya. Aku tersenyum.
“Cowok tadi yang ngaku pacarku, siapa dia?” Tanyaku penasaran.
“Itu mas Vino, pacar mbak. Ibu tadi tuh mama kita,” Jelas Rea. Aku melongo. Pacarku?!
“Trus, aku kenapa ada disini?”
“Tadi mbak jatuh di kantor. Kepala mbak kebentur lantai, terus kening mbak juga robek, makanya diperban kaya gini. Kata dokter, mbak kena amnesia ringan,” Jelasnya lagi.
Aku terdiam dan berusaha mengingat. Tapi kepalaku malah tambah sakit.
“Sudah, mbak istirahat aja. Aku keluar sebentar ya, mbak. Mau manggil mama dulu. Pokoknya jangan mikirin apa-apa, istirahat aja,” Aku mengganguk sambil tersenyum. Eh… ibu make up menor tadi mamaku?
Aku bangkit dari tempat tidurku. Bosan juga dari tadi tiduran terus. Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Uhhhhhh, cowok yang tadi lagi.
“Ada apa?” Tanyaku cuek. Nggak tahu kenapa aku sebel banget melihat mukanya.
“Sudah baikan?” Tanyanya sambil menghampiriku. Kontan aku langsung mundur, takut dia macam-macam lagi.
“Kamu sama sekali nggak ingat aku?” Tanyanya dengan muka memelas. Aku menggeleng dengan yakin.
“Sudah baikan?” Tanyanya sambil menghampiriku. Kontan aku langsung mundur, takut dia macam-macam lagi.
“Kamu sama sekali nggak ingat aku?” Tanyanya dengan muka memelas. Aku menggeleng dengan yakin.
Dia kemudian sibuk dengan handphonenya. Lalu tiba-tiba dengan muka bersemangat menunjukkan handphonenya kepadaku.
“Ingat nggak sama foto ini,” Aku memicingkan mataku. Foto apaan, nggak jelas.
“Ini kamu, ingat nggak?” Iya juga, memang ada aku di foto itu dan… cowok itu! Kapan aku foto bareng sama dia?
“Terus kenapa?” Tanyaku.
“Percaya kan kalau kita ini memang pacaran,”
“Nggak lah! Mungkin aja kamu ngefans banget sama aku, makanya ada foto kita berdua. Sudah ah, kamu pergi sana. Kepalaku pusing lagi, aku mau tidur dulu,” Usirku.
“Ini kamu, ingat nggak?” Iya juga, memang ada aku di foto itu dan… cowok itu! Kapan aku foto bareng sama dia?
“Terus kenapa?” Tanyaku.
“Percaya kan kalau kita ini memang pacaran,”
“Nggak lah! Mungkin aja kamu ngefans banget sama aku, makanya ada foto kita berdua. Sudah ah, kamu pergi sana. Kepalaku pusing lagi, aku mau tidur dulu,” Usirku.
Aku mendorong cowok itu ke luar kamarku. Menyebalkan lama-lama ngobrol sama dia.
“Sya, aku mohon kasih aku kesempatan buat buktiin kalau aku memang pacarmu,” Dia masih aja terus memohon.
“Eh… dengar ya! Aku nggak ngerasa jadi pacar kamu, terus aku juga nggak pengen jadi pacar kamu. Jadi stop ngomong hal yang aku nggak ngerti!” Duuuh, kepalaku pusing lagi. Sial, nampaknya cowok ini harus kuusir jauh-jauh biar penyakitku nggak kumat terus.
“Kalian kenapa?!” Ibu bermake up menor eh… mamaku sama Rea tiba-tiba muncul.
“Mas Vino gimana sih, kan tadi aku udah bilang jangan ngomong yang nggak-nggak ke mbak Sya,” Marah Rea ke cowok itu. Huuh, rasain!
“Maaf, Re,” Bisik cowok itu pelan.
“Mama bawakan nasi uduk kesukaanmu. Dimakan ya,” Aku menuju tempat tidur dan kembali berbaring. Ibu itu eh… mama menyuapiku.
“Eh… dengar ya! Aku nggak ngerasa jadi pacar kamu, terus aku juga nggak pengen jadi pacar kamu. Jadi stop ngomong hal yang aku nggak ngerti!” Duuuh, kepalaku pusing lagi. Sial, nampaknya cowok ini harus kuusir jauh-jauh biar penyakitku nggak kumat terus.
“Kalian kenapa?!” Ibu bermake up menor eh… mamaku sama Rea tiba-tiba muncul.
“Mas Vino gimana sih, kan tadi aku udah bilang jangan ngomong yang nggak-nggak ke mbak Sya,” Marah Rea ke cowok itu. Huuh, rasain!
“Maaf, Re,” Bisik cowok itu pelan.
“Mama bawakan nasi uduk kesukaanmu. Dimakan ya,” Aku menuju tempat tidur dan kembali berbaring. Ibu itu eh… mama menyuapiku.
Cowok yang dipanggil Rea dengan sebutan mas Vino itu masih sibuk kasak kasuk dengan Rea, nggak tahu apa yang mereka diskusikan. Aku nggak perduli.
“Ma, aku benaran pacaran sama cowok itu ya?” Bisikku perlahan.
“Iya, memangnya kenapa?” Tanya mama masih sambil menyuapiku.
“Kalau gitu mama bilang sama dia, aku mau putus aja,” Mama berhenti menyuapiku.
“Kenapa, nak?” Tanya mama dengan muka serius.
“Nggak mau sama dia, orangnya nyebelin,” Sahutku. Lama mama menatapku.
“Sebenarnya mama nggak boleh ceritain ini. Ini rahasia. Tapi gimana lagi. Sebenarnya malam ini Vino mau melamar kamu, tapi batal gara-gara kajadian ini. Jadi mama mohon, kamu jangan ngomong yang nggak-nggak dulu ya sampai kamu ngerasa baikan,” Kata mama pelan. Duuuh, dilamar sama cowok kaya’ dia? Jangan sampai deh!
“Iya, memangnya kenapa?” Tanya mama masih sambil menyuapiku.
“Kalau gitu mama bilang sama dia, aku mau putus aja,” Mama berhenti menyuapiku.
“Kenapa, nak?” Tanya mama dengan muka serius.
“Nggak mau sama dia, orangnya nyebelin,” Sahutku. Lama mama menatapku.
“Sebenarnya mama nggak boleh ceritain ini. Ini rahasia. Tapi gimana lagi. Sebenarnya malam ini Vino mau melamar kamu, tapi batal gara-gara kajadian ini. Jadi mama mohon, kamu jangan ngomong yang nggak-nggak dulu ya sampai kamu ngerasa baikan,” Kata mama pelan. Duuuh, dilamar sama cowok kaya’ dia? Jangan sampai deh!
Aduh! Kepalaku sakit lagi. Aku menjerit tertahan. Mama nampak panik, Rea dan Vino bergegas menghampiriku. Sekelilingku nampak kabur.
—
Rasanya aku baru bangun dari tidur panjang. Kepalaku terasa berat. Barusan aku seperti mimpi aneh.
“Ini dimana, ma?” Tanyaku perlahan.
“Di rumah sakit. Sudah istirahat aja lagi,” Mama mengelus rambutku. Aku mengedarkan pandanganku. Ada Rea, adikku. Kok ada Vino juga? Katanya malam ini dia mau ke luar kota. Terus acara selamatannya Rea gimana?
“Ma, acara Rea gimana?” Tanyaku panik.
“Jangan dipikirin, acaranya masih bisa diundur kok,” Sahut mama sambil tersenyum. Di belakang mama, Rea dan Vino nampak kasak kusuk. Pandanganku beralih ke Vino. Nggak tahu kenapa dia nampak takut-takut melihatku. Sebenarnya ada apa?
“Katanya mau ke luar kota? Nggak jadi ya?” Tanyaku ke Vino. Lama Vino terdiam. Dia dan Rea saling pandang.
“Nggak jadi, Sya. Diundur sampai kamu sembuh,” Vino kemudian menghampiriku dan mengelus pipiku. Tumben dia jadi perhatian.
“Tadi aku mimpi, masa mama bilang kalau kamu mau ngelamar aku. Aneh banget mimpinya,” Kataku ke Vino. Raut muka Vino langsung berubah, sedang mama dan Rea saling pandang.
“Di rumah sakit. Sudah istirahat aja lagi,” Mama mengelus rambutku. Aku mengedarkan pandanganku. Ada Rea, adikku. Kok ada Vino juga? Katanya malam ini dia mau ke luar kota. Terus acara selamatannya Rea gimana?
“Ma, acara Rea gimana?” Tanyaku panik.
“Jangan dipikirin, acaranya masih bisa diundur kok,” Sahut mama sambil tersenyum. Di belakang mama, Rea dan Vino nampak kasak kusuk. Pandanganku beralih ke Vino. Nggak tahu kenapa dia nampak takut-takut melihatku. Sebenarnya ada apa?
“Katanya mau ke luar kota? Nggak jadi ya?” Tanyaku ke Vino. Lama Vino terdiam. Dia dan Rea saling pandang.
“Nggak jadi, Sya. Diundur sampai kamu sembuh,” Vino kemudian menghampiriku dan mengelus pipiku. Tumben dia jadi perhatian.
“Tadi aku mimpi, masa mama bilang kalau kamu mau ngelamar aku. Aneh banget mimpinya,” Kataku ke Vino. Raut muka Vino langsung berubah, sedang mama dan Rea saling pandang.
Aku menatap mereka satu persatu. Apa aku salah ngomong???
END
Cerpen Karangan: Eva Kurniasari
Blog: vadeliciouslife.blogspot.com
Blog: vadeliciouslife.blogspot.com
sumber : via cerpenmu
Tag :
cerita lucu,
sajadah terbang
By : Unknown
“Anisa bangun” ibu membangunkan Anisa yang sedang tidur.
“shalat subuh dulu nak,” kata ibu.
“Iya bu,” Anisa bangun dan langsung beranjak ke kamar mandi untuk wudhu dan segera shalat subuh.
“shalat subuh dulu nak,” kata ibu.
“Iya bu,” Anisa bangun dan langsung beranjak ke kamar mandi untuk wudhu dan segera shalat subuh.
“hooaamm” Anisa menguap selesai shalat.
“aku ngantuk banget, aku tiduran sebentar ah” gumam Anisa yang masih lengkap memakai mukena mulai berbaring di atas sajadah. Dan beberapa saat kemudian dia tertidur.
“aku ngantuk banget, aku tiduran sebentar ah” gumam Anisa yang masih lengkap memakai mukena mulai berbaring di atas sajadah. Dan beberapa saat kemudian dia tertidur.
Matanya terbuka. Terasa angin yang begitu kencang.
Matanya melihat ke bawah dan menemukan selembar sajadah didudukinya terbang di udara.
“ini kan sajadahku. Apa sajadahku ini ajaib. Woww..” gumamnya polos.
“aku mau jalan-jalan ahh” katanya dalam hati sambil senyum bahagia.
“sajadah ayo kita jalan-jalan” Anisa teriak bahagia.
Anisa dan sajadahnya pun terbang dengan penuh semangat.
“wow.. indahnya…” gumam Anisa.
Matanya melihat ke bawah dan menemukan selembar sajadah didudukinya terbang di udara.
“ini kan sajadahku. Apa sajadahku ini ajaib. Woww..” gumamnya polos.
“aku mau jalan-jalan ahh” katanya dalam hati sambil senyum bahagia.
“sajadah ayo kita jalan-jalan” Anisa teriak bahagia.
Anisa dan sajadahnya pun terbang dengan penuh semangat.
“wow.. indahnya…” gumam Anisa.
“Anisa.. Anisa..” seseorang memanggilnya dari bawah.
“wah.. itu ibu. ibu.. ibu.. Anisa terbang” Anisa memanggil ibunya sambil melambaikan tangan penuh kebahagiaan.
“Anisa.. Anisa.. bangun sudah siang, kok tidur di sajadah sih” ibu membanggunkan.
Mata Anisa pun terbuka dan ternyata Anisa hanya bermimpi.
“wah.. itu ibu. ibu.. ibu.. Anisa terbang” Anisa memanggil ibunya sambil melambaikan tangan penuh kebahagiaan.
“Anisa.. Anisa.. bangun sudah siang, kok tidur di sajadah sih” ibu membanggunkan.
Mata Anisa pun terbuka dan ternyata Anisa hanya bermimpi.
THE END
Cerpen Karangan: Nurhikmah Hakiki
Facebook: Nurhikmahhakiki[-at-]yahoo.com
Facebook: Nurhikmahhakiki[-at-]yahoo.com
sumber : via cerpenmu
Tag :
cerita lucu,
bukan lelaki pecundang
By : UnknownPecundang… pecundang… pecundang, berkali-kali kata-kata itu teriang-iang di telingaku, entah dari mana asalnya, melintas saja bak kereta api listrik yang membelah pulau jawa. Aku terduduk disebuah pantai, sendirian, sembari kata-kata itu tak henti-hentinya membahana di relung jiwaku, sempat ku bertanya kepada couple seusiaku yang kebetulan melintas di depan tempatku duduk.
“Mas, mbak, ada dengar yang bilang pecundang, pecundang ngak?” tanyaku ke mereka berdua.
Mereka berdua hanya geleng-geleng kepala dengan ekspresi wajah keheranan, lalu pergi meninggalkanku sendiri. Setelah tak beberapa jauh dariku mereka berdua tertawa terbahak-bahak, sambil berangkulan mesra bak seorang pengantin baru, samar-samar memang terdengar suara cibiran.
“Dasar sinting ya sayang… hahahaha” ucar lelaki tersebut, disambut cekikikan geli bak kuntilanak suara gadis pacarnya.
Aku berang juga, kuambil ranting kayu yang tergeletak di sampingku, dengan segenap kekuatan kulempar couple kurang ajar tadi,
“Woooyyy, sini kamu, kenapa lempar-lempar” tiba-tiba lelaki tersebut berbalik dan mengejarku, langkah cepatnya membuatku tersentak, beruntung motor bebek merahku terpakir siaga di pinggir jalan, dengan sigap aku langsung kabur dari lelaki sok pahlawan yang ingin minta puji dengan pacarnya tersebut. Sejenak ku menoleh ke belakang kulihat dia berteriak-teriak kencang, sedangkan sang pacar terlihat bengong melihat pacarnya yang seperti orang sinting yang tak kalah dengan orang sinting yang barusan mereka bicarakan.
“TIIINNN…”
Aku kaget dengan suara klakson panjang sebuah mobil yang berada di depanku, hampir saja aku tertabrak mobil gara-gara keasikan melihat lelaki tadi.
“Wooyyy… kalau jalan itu lihat-lihat!!!” ujar pengemudi mobil tadi berang, aku hanya membalasnya dengan senyum-senyum masem, ditambah bonus nyengir kuda yang khusus kuberikan ke pengemudi tadi, yah mungkin sebagai pengganti permintaan maaf.
“Arghhh… sial benar aku hari ini…” gumamku keras…
Rencana mau refreshing menenangkan otak malah jadi begini, pagi tadi aku baru saja mendapat berita, seorang gadis yang kutaksir, si mia baru saja jadian dengan cowok gagah ganteng bermotor besar bernama anggi, dan parahnya lagi, mereka jadian tepat sehari setelah mia menolakku,
“hiks… kejam sekali kau mia” gumamku yang langsung disambut dengan dengung suara hatiku yang bekata “lebayyy…”.
“Wooyyy… kalau jalan itu lihat-lihat!!!” ujar pengemudi mobil tadi berang, aku hanya membalasnya dengan senyum-senyum masem, ditambah bonus nyengir kuda yang khusus kuberikan ke pengemudi tadi, yah mungkin sebagai pengganti permintaan maaf.
“Arghhh… sial benar aku hari ini…” gumamku keras…
Rencana mau refreshing menenangkan otak malah jadi begini, pagi tadi aku baru saja mendapat berita, seorang gadis yang kutaksir, si mia baru saja jadian dengan cowok gagah ganteng bermotor besar bernama anggi, dan parahnya lagi, mereka jadian tepat sehari setelah mia menolakku,
“hiks… kejam sekali kau mia” gumamku yang langsung disambut dengan dengung suara hatiku yang bekata “lebayyy…”.
Jomblo… jomblo… jomblo… lagi-lagi suara aneh membahana di telingaku, kali ini dengan kosa kata yang berbeda, JOMBLO. Yah, itu yang diteriakkan oleh suara yang berulang kali aku dengar barusan. Dan kebetulan lagi-lagi ada couple yang sedang berboncengan mesra di sampingku, berpelukan dengan motor besar yang menjengkelkanku.
“Woouuuy… kenapa bilang-bilang jomblo sama aku..” ujarku keras kemereka berdua
Mendengar hal tersebut, keduanya saling bertatapan satu sama laiinya, dengan lagi-lagi wajah yang keheranan, heran ada orang sinting yang berteriak kepada mereka. Lalu dengan sedikit menaikkan gigi motor, dan menggasnya dengan kencang, lelaki tersebut dengan motor besar dengan mudahnya meninggalkan aku jauh dengan si bebek yang sudah berusia uzur ini.
Mendengar hal tersebut, keduanya saling bertatapan satu sama laiinya, dengan lagi-lagi wajah yang keheranan, heran ada orang sinting yang berteriak kepada mereka. Lalu dengan sedikit menaikkan gigi motor, dan menggasnya dengan kencang, lelaki tersebut dengan motor besar dengan mudahnya meninggalkan aku jauh dengan si bebek yang sudah berusia uzur ini.
Karena tak jelas arah dan tujuan, aku akhirnya menuju sebuah warnet kecil yang berada di pinggir jalan, aku masuki salah satu bilik, membuka Facebook untuk sekedar mengecek status dan pemberitahuan terbaru, siapa tahu pdkt aku beberapa hari yang lalu sukses besar. Yah, sebuah pdkt yang kulakukan ke beberapa gadis dengan mengirimi mereka dengan pesan-pesan yang bersahabat, atau bisa dibilang sok akrab.
“What…the…” aku tersentak melihat profil facebookku, tak ada tanda-tanda merah di sudut kiri atasnya, tak ada pemberitahuan?, satupun?.
Aku coba cek sebuah status yang kubuat tadi pagi yang tentunya sangat puitis dan bermakna dalam, dengan harapan banyak yang nglike.. tapi ternyata.
“What… the…” lagi-lagi bahasa inggris tersebut terlontar dari mulut bauku, mungkin… karena seharian ini aku belum gosok gigi. Dan ternyata memang kejadian, tak ada yang menlike statusku, memang ada dua yang men-like aku cek dan ternyata itu aku sendiri dan sebuah akun palsu yang aku buat, ironi sekali.
“Huaaaaaa…” aku teriak sekencang-kecangnya diwarnet tersebut, tapi heran juga, tak ada yang menegorku. Oh iya, aku teriak dalam hati barusan.
Aku lihat beranda sore itu, seperti biasa couple alay memasang foto-foto mesra mereka. Segera saja aku klik “berhenti berlangganan” status tersebut, bagaimana tidak, hatiku perih boy melihat itu, kesal, iri, sedih, kasihan? kasihan terhadap diriku sendiri tentunya. Yang bercampur aduk kedalam hati yang mulai layu tanpa harapan ini
Sebuah lagi status yang bikin aku muak sore itu, seorang pemuda yang memajang kesuksesannya dalam sebuah kejuaraan. Aku ingat beberapa hari yang lalu, aku sudah berusaha sebaik-baiknya membuat 10 alternatif cerita yang kukirim ke 10 lomba cerpen, yang salah satunya berisi cerpen pelampiasanku ke Mia, tentang cerita perjuangan cintaku yang bertepuk sebelah tangan ke gadis itu, dan hasilnya nihil. Bahkan masuk sepuluh besarpun aku tak mampu, padahal aku sudah bercerita dengan teman sesama penghayalku akan berangkat ke singapura dari hadiah salah satu lomba cerpen tersebut, namun ternyata gatot… gatot… gatot.. gagal total, heran juga lagi-lagi kata kata dengan kosa kata yang sama teriang-iang ditelingaku, seperti mengejek dengan kerasnya.
Aku coba cek sebuah status yang kubuat tadi pagi yang tentunya sangat puitis dan bermakna dalam, dengan harapan banyak yang nglike.. tapi ternyata.
“What… the…” lagi-lagi bahasa inggris tersebut terlontar dari mulut bauku, mungkin… karena seharian ini aku belum gosok gigi. Dan ternyata memang kejadian, tak ada yang menlike statusku, memang ada dua yang men-like aku cek dan ternyata itu aku sendiri dan sebuah akun palsu yang aku buat, ironi sekali.
“Huaaaaaa…” aku teriak sekencang-kecangnya diwarnet tersebut, tapi heran juga, tak ada yang menegorku. Oh iya, aku teriak dalam hati barusan.
Aku lihat beranda sore itu, seperti biasa couple alay memasang foto-foto mesra mereka. Segera saja aku klik “berhenti berlangganan” status tersebut, bagaimana tidak, hatiku perih boy melihat itu, kesal, iri, sedih, kasihan? kasihan terhadap diriku sendiri tentunya. Yang bercampur aduk kedalam hati yang mulai layu tanpa harapan ini
Sebuah lagi status yang bikin aku muak sore itu, seorang pemuda yang memajang kesuksesannya dalam sebuah kejuaraan. Aku ingat beberapa hari yang lalu, aku sudah berusaha sebaik-baiknya membuat 10 alternatif cerita yang kukirim ke 10 lomba cerpen, yang salah satunya berisi cerpen pelampiasanku ke Mia, tentang cerita perjuangan cintaku yang bertepuk sebelah tangan ke gadis itu, dan hasilnya nihil. Bahkan masuk sepuluh besarpun aku tak mampu, padahal aku sudah bercerita dengan teman sesama penghayalku akan berangkat ke singapura dari hadiah salah satu lomba cerpen tersebut, namun ternyata gatot… gatot… gatot.. gagal total, heran juga lagi-lagi kata kata dengan kosa kata yang sama teriang-iang ditelingaku, seperti mengejek dengan kerasnya.
Tak sampai disitu, setelah menulis status pelampiasan, aku ikuti lomba design cover, siapa tahu ini adalah takdirku, sebagai designer cover kawakan. Aku ikuti beberapa lomba yang tertera di beberapa halaman website, meski beberapa sudah expired, aku tetap mencoba dan ternyata, selamat…!!! anda gagal… gagal.. gagal…, masuk nominasi 20 besarpun tidak, memang benar-benar what the…
Ternyata, rencanaku menenangkan pikiran di warnet lagi-lagi rusak gara-gara hal tersebut, bukannya refresh melihat photo profile ciamik penghuni facebook, malah megorek luka lama kegagalanku.
Aku berjalan dengan lunglai ke arah pintu keluar warnet, badanku lemas, tak bersemangat, tak berdaya dan lima L, letih, lemah, lunglai, loyo dan lesu… seluruhnya bercampur aduk di dalam diriku, aku duduki motor bebekku, namun aku terkejut, sebuah suara merdu nan ayu memanggilku dari belakang
“Mas…mas…” ujar suara tersebut, aku menoleh ke belakang, kali ini suara tersebut teriang-iang di telingaku, sebuah suara yang sama, kuyakinkan lagi pendengaranku, apakah itu hanya suara hatiku lagi seperti yang tadi.
“Mas..mas…” ternyata benar bukan, itu datangnya dari seorang gadis berwajah manis dengan rambut hitam lurus sebahu dan wajah manisnya, ia tersenyum ke arahku.
“Wah… apa mungkin dia ingin jalan denganku? Atau mungkin ia ingin minta antar kepadaku?, atau jangan-jangan…”
Belum lagi khayalan tinggiku berspekulasi ia berkata dengan suara lembut yang manja.
“Mas… uang warnetnya belum dibayar…” ujarnya pelan.
“What..the…” lagi-lagi aku mengucapkan kata-kata itu, hancur sudah, hancur sudah, tega sekali kau memberi harapan padaku wahai bidadari cantik. Kesal dan gundah gulana yang kurasakan semakin bertambah dengan senyum renyah dari bibir manis gadis penjaga warnet tadi, seadainya senyum itu bisa terus kunikmati setiap harinya, owh… gustii…
Aku serahkan uang 3 ribu rupiah sesuai dengan tarif warnet tadi, lalu iapun pergi dengan cuek kembali ke dalam warnet tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Mas…mas…” ujar suara tersebut, aku menoleh ke belakang, kali ini suara tersebut teriang-iang di telingaku, sebuah suara yang sama, kuyakinkan lagi pendengaranku, apakah itu hanya suara hatiku lagi seperti yang tadi.
“Mas..mas…” ternyata benar bukan, itu datangnya dari seorang gadis berwajah manis dengan rambut hitam lurus sebahu dan wajah manisnya, ia tersenyum ke arahku.
“Wah… apa mungkin dia ingin jalan denganku? Atau mungkin ia ingin minta antar kepadaku?, atau jangan-jangan…”
Belum lagi khayalan tinggiku berspekulasi ia berkata dengan suara lembut yang manja.
“Mas… uang warnetnya belum dibayar…” ujarnya pelan.
“What..the…” lagi-lagi aku mengucapkan kata-kata itu, hancur sudah, hancur sudah, tega sekali kau memberi harapan padaku wahai bidadari cantik. Kesal dan gundah gulana yang kurasakan semakin bertambah dengan senyum renyah dari bibir manis gadis penjaga warnet tadi, seadainya senyum itu bisa terus kunikmati setiap harinya, owh… gustii…
Aku serahkan uang 3 ribu rupiah sesuai dengan tarif warnet tadi, lalu iapun pergi dengan cuek kembali ke dalam warnet tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Kustarter motor bebek tuaku lagi, rencananya aku mau pulang, namun baru beberapa meter aku pergi dari warnet terkutuk tersebut, motorku oleng, seperti kehilangan keseimbangan, ada apa ini?
Aku berhenti di pinggir jalan, lagi-lagi tepat didepan couple yang lagi duduk berduaan di bawah pohon rindang tersebut..
Owhh… kenapa seharian ini aku disindir terus-terusan ketemu couple?, apa salahku wahai gusti…? kenapa kau biarkan aku menjomblo seperti ini.
Kembali ke permasalahan awal, dan tinggalkan doa lebayku tersebut, aku cek ban depanku, nothing problem?, lalu ke ban belakang ku, dan..
“What the…” ban belakangku kempes, dan terpaksa aku dengan lunglai mendorong motor ini ke bengkel terdekat. Yah, terdekat, sekitar 2 kilometer dari tempatku sekarang. Diiringi lirikan tajam bak mata elang dari orang-orang di sekitar yang melihatku dengan aneh, aku cuek saja, toh tak ada yang mengenalku, namun…
“Motornya kenapa?” ujar seorang cewek yang berada di depanku
Ku dongkakakan kepalaku ke depan, “Mia?” Aduh… mimpi apa aku semalam hingga bisa bertemu dengan gadis pujaanku ini, namun aku segera teringat ia sudah punya pacar, sehingga dengan gaya cool dan dingin aku menjawab pertanyaan gadis tersebut.
“Ehmmm… tidak apa-apa, hanya kempes sedikit” jawabku tegas dan sok cool sembari tetap bejalan melewatinya.
“Aku bantu ya..” jawabnya pelan, owh gustii… kenapa kau memberikan aku anugrah atau cobaan yang begitu berat seperti ini?, dan lagi-lagi dengan gaya cool aku anguk pelan tanda setuju.
Aku berhenti di pinggir jalan, lagi-lagi tepat didepan couple yang lagi duduk berduaan di bawah pohon rindang tersebut..
Owhh… kenapa seharian ini aku disindir terus-terusan ketemu couple?, apa salahku wahai gusti…? kenapa kau biarkan aku menjomblo seperti ini.
Kembali ke permasalahan awal, dan tinggalkan doa lebayku tersebut, aku cek ban depanku, nothing problem?, lalu ke ban belakang ku, dan..
“What the…” ban belakangku kempes, dan terpaksa aku dengan lunglai mendorong motor ini ke bengkel terdekat. Yah, terdekat, sekitar 2 kilometer dari tempatku sekarang. Diiringi lirikan tajam bak mata elang dari orang-orang di sekitar yang melihatku dengan aneh, aku cuek saja, toh tak ada yang mengenalku, namun…
“Motornya kenapa?” ujar seorang cewek yang berada di depanku
Ku dongkakakan kepalaku ke depan, “Mia?” Aduh… mimpi apa aku semalam hingga bisa bertemu dengan gadis pujaanku ini, namun aku segera teringat ia sudah punya pacar, sehingga dengan gaya cool dan dingin aku menjawab pertanyaan gadis tersebut.
“Ehmmm… tidak apa-apa, hanya kempes sedikit” jawabku tegas dan sok cool sembari tetap bejalan melewatinya.
“Aku bantu ya..” jawabnya pelan, owh gustii… kenapa kau memberikan aku anugrah atau cobaan yang begitu berat seperti ini?, dan lagi-lagi dengan gaya cool aku anguk pelan tanda setuju.
Kami berdua duduk berdampingan ditemani bau pembakaran ban dan oli-oli di bengkel tersebut, kami berdua berbincang ringan, aku tetap dengan tutur ucap yang cool setiap kali menanggapi pertanyaannya,
“Sebenarnya ada yang ingin aku katakan kepadamu” tiba-tiba ia berbicara pelan, pelan sekali, aku terhentak, meleleh juga mendengaranya,
“Ada apa?” jawabku
“Aku sebenarnya… ehmm… sebenarnya..” owh gusti dia berbicara dengan begitu pelan, sebenarnya ada apa?, apa yang ingin dia katakan kepadaku?, apa mungkin dia ingin bilang… “sebenarnya aku suka padamu”. What the… indah sekali… owh…
“Sebenarnya aku suka…” oh my god… betulkan.. betulkan…, dia suka sama aku, ahahaha benar sekali, sorak sorai bergemuruh dalam hatiku, wajahku bersemu.
“Aku suka dengan cerpen tulisanmu…” ahhhh… apa? dia tadi bilang aku suka denganmu kan? Apa aku tak salah dengar?, lalu aku coba pastikan kata-katanya tadi.
“Apa tadi?” tanyaku dengan segenap penasaran, rasa cool ku hilang sudah.
“Aku suka dengan cerpen yang kamu tulis, aku tak sengaja baca di pembungkus gorengan ketika aku sedang jalan sama Anggi” jawabnya panjang lebar…
Apa? Pembungkus gorengan? Cerpen? Berarti bukan suka denganku? Suka dengan cerpenku? Owh tunggu dulu? Bagaiman bisa cerpenku bisa jadi pembungkus gorengan? Apa mungkin kopian yang aku buang ke kotak sampah bisa sampai ketempat penjual gorengan?
“Ehmm.. mia, memangnya pembungkus gorengan yang mana?” tanyaku menyelidik
Ia keluarkan sesuatu dari saku celananya, dan memberikan sebuah kertas lusuh yang sudah berbekas minyak gorengan aku baca disana, yah… benar ini cerpenku?, bagaimana bisa begini? Kok aku tak diberitahu dahulu?, kenapa dimuat di majalah ini tanpa sepengetahuanku?, dan jelas-jelas disana tertulis dan terpampang namaku.
“Sebenarnya ada yang ingin aku katakan kepadamu” tiba-tiba ia berbicara pelan, pelan sekali, aku terhentak, meleleh juga mendengaranya,
“Ada apa?” jawabku
“Aku sebenarnya… ehmm… sebenarnya..” owh gusti dia berbicara dengan begitu pelan, sebenarnya ada apa?, apa yang ingin dia katakan kepadaku?, apa mungkin dia ingin bilang… “sebenarnya aku suka padamu”. What the… indah sekali… owh…
“Sebenarnya aku suka…” oh my god… betulkan.. betulkan…, dia suka sama aku, ahahaha benar sekali, sorak sorai bergemuruh dalam hatiku, wajahku bersemu.
“Aku suka dengan cerpen tulisanmu…” ahhhh… apa? dia tadi bilang aku suka denganmu kan? Apa aku tak salah dengar?, lalu aku coba pastikan kata-katanya tadi.
“Apa tadi?” tanyaku dengan segenap penasaran, rasa cool ku hilang sudah.
“Aku suka dengan cerpen yang kamu tulis, aku tak sengaja baca di pembungkus gorengan ketika aku sedang jalan sama Anggi” jawabnya panjang lebar…
Apa? Pembungkus gorengan? Cerpen? Berarti bukan suka denganku? Suka dengan cerpenku? Owh tunggu dulu? Bagaiman bisa cerpenku bisa jadi pembungkus gorengan? Apa mungkin kopian yang aku buang ke kotak sampah bisa sampai ketempat penjual gorengan?
“Ehmm.. mia, memangnya pembungkus gorengan yang mana?” tanyaku menyelidik
Ia keluarkan sesuatu dari saku celananya, dan memberikan sebuah kertas lusuh yang sudah berbekas minyak gorengan aku baca disana, yah… benar ini cerpenku?, bagaimana bisa begini? Kok aku tak diberitahu dahulu?, kenapa dimuat di majalah ini tanpa sepengetahuanku?, dan jelas-jelas disana tertulis dan terpampang namaku.
Olalala… baru aku sadar, disana aku menulis alamat yang salah, dan juga baru aku sadar nomor handphone yang kuberi ke majalah tersebut juga nomor handphone yang lain, segera kurogoh dompetku, kuambil kartu memori yang satunya lagi, aku pasang dan.. sebuah pesan masuk kehandphoneku.
Dan tertulis disana, “selamat tulisan anda lolos seleksi dan akan diterbitkan pada majalah kami edisi bulan ini, hadiah akan kami kirimkan setelah anda mengkonfirmasi pesan singkat ini, terima kasih..”
“Owhh… yeaahhhhhhhh…” ujarku keras dan panjang, kali ini tak kuhiraukan lagi orang-orang yang melihat ke arahku, aku pegang tangan Mia yang lembut itu sembari tersenyum merkah ke arahnya, dan ia pun membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya.
“Ternyata aku bukan lelaki pecundang, Mia…” ujarku pelan
“Memang bener, kamu itu bukan seorang pecundang Firman…, kamu itu seorang pemenang, pemenang segalanya termasuk hatiku” balas mia pelan dengan wajahnya yang memerah, aku terkaget mendengar hal tersebut, namun rasa haru yang berlebihan membuat aku tak mampu berkata-kata, hanya tangannya saja yang semakin erat kugengam. Owh… indahnya anugrah darimu tuhan…
Dan tertulis disana, “selamat tulisan anda lolos seleksi dan akan diterbitkan pada majalah kami edisi bulan ini, hadiah akan kami kirimkan setelah anda mengkonfirmasi pesan singkat ini, terima kasih..”
“Owhh… yeaahhhhhhhh…” ujarku keras dan panjang, kali ini tak kuhiraukan lagi orang-orang yang melihat ke arahku, aku pegang tangan Mia yang lembut itu sembari tersenyum merkah ke arahnya, dan ia pun membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya.
“Ternyata aku bukan lelaki pecundang, Mia…” ujarku pelan
“Memang bener, kamu itu bukan seorang pecundang Firman…, kamu itu seorang pemenang, pemenang segalanya termasuk hatiku” balas mia pelan dengan wajahnya yang memerah, aku terkaget mendengar hal tersebut, namun rasa haru yang berlebihan membuat aku tak mampu berkata-kata, hanya tangannya saja yang semakin erat kugengam. Owh… indahnya anugrah darimu tuhan…
Cerpen Karangan: Redho Firdaus
Blog: Http://redrunningstory.blogspot.com/
seorang penulis muda amatir yang sedang belajar untuk menulis, berambisi menjadi penulis besar dan membuat tulisan penggugah semangat kaum muda seperti bang fuadi dan bang andrea..
Blog: Http://redrunningstory.blogspot.com/
seorang penulis muda amatir yang sedang belajar untuk menulis, berambisi menjadi penulis besar dan membuat tulisan penggugah semangat kaum muda seperti bang fuadi dan bang andrea..
sumber : via cerpenmu
Tag :
cerita lucu,
maling bertobat
By : Unknown
“Sauurr! Sauur!” teriak Gentong sambil memukul-mukul kentongan yang besarnya hanya sepersepuluh dari bobot tubuhnya.
Salah seorang menimpuknya dengan roti kecil yang langsung mendarat tepat di pipi kanan Gentong. Tanpa pikir panjang, Gentong pun meraih kue itu dan langsung melahapnya habis.
“Woy.. Jam berapa ini? Lo gak liat, ini tuh baru jam 1. Paling, cucu adam baru pada teler.” sahut temannya.
Gentong hanya menggeleng sambil memainkan tangannya kayak guru yang lagi ngejelasin materi. “Sodara-sodara.. Kita itu harus bergerak lebih dulu daripada mereka. Nanti kalau kita kesiangan, misi kita ga berhasil lagi. Ada juga mereka bangun, trus ngabisin makan saurnya. Gimana nasib kita sodara? Masa kita ga kebagian makanan lagi?” jelas Gentong berpidato.
“Ah lu Tong, otaknya penuh sama makanan mulu! Kita tuh maling professional, ngeburu tv, kulkas atau ngga ipod. Bukannya ngeburu makanan, huh ngga level lo. Dasar Gentong!” timpal salah sorang temannya lagi.
Salah seorang menimpuknya dengan roti kecil yang langsung mendarat tepat di pipi kanan Gentong. Tanpa pikir panjang, Gentong pun meraih kue itu dan langsung melahapnya habis.
“Woy.. Jam berapa ini? Lo gak liat, ini tuh baru jam 1. Paling, cucu adam baru pada teler.” sahut temannya.
Gentong hanya menggeleng sambil memainkan tangannya kayak guru yang lagi ngejelasin materi. “Sodara-sodara.. Kita itu harus bergerak lebih dulu daripada mereka. Nanti kalau kita kesiangan, misi kita ga berhasil lagi. Ada juga mereka bangun, trus ngabisin makan saurnya. Gimana nasib kita sodara? Masa kita ga kebagian makanan lagi?” jelas Gentong berpidato.
“Ah lu Tong, otaknya penuh sama makanan mulu! Kita tuh maling professional, ngeburu tv, kulkas atau ngga ipod. Bukannya ngeburu makanan, huh ngga level lo. Dasar Gentong!” timpal salah sorang temannya lagi.
Tak lama, lampu petromaks bewarna pink kemerahan menyilaukan mata kantuk mereka. Seorang bapak tua menghampiri Gentong dengan jalan yang sudah bertopang kayu namun rambutnya masih klimis, karena baru dicuci sama rinso anti noda terbaru. Haha x_x
“Tong, kok belom pada bangun sih? Bentar lagi proyeknya kan dimulai.” tanya Bapak tua sambil meluruskan rambutnya ke atas bak naruto jompo.
Gentong menghela napasnya, namun anehnya bapak tua itu langsung menutup hidungnya. Gentong nyengir sendiri, ia baru teringat kalau semalam, ia baru saja menghabisi sekeranjang pete ijo.
“Anu pa.. Anu.. Pada kaga mau bangun.” Gentong berlaga gagap. Pikirnya, ia baru saja berhasil menirukan gaya aziz gagap. Sempat terlintas di otaknya untuk mengganti nama jadi Gentong Gagap.
Bapak tua menatap bingung Gentong yang masih nyengir gak jelas. Sambil mengernyitkan kening ‘Duh, gue jadi tambah ngeri sama dia. Jangan-jangan dia naksir lagi sama gue, gara-gara rambut klimis yang baru di rinso-in ini.’
“Tong, Oyy!” seru bapak tua itu.
Gentong mengerjap-ngerjap dan langsung bersikap ibarat anggota PBB yang lagi hormat. “Siap, pak!”
“Tong, lu napa sih? Senyum-senyum sendirian, ngga ngajak-ngajak gue.” keluh bapak tua, keki.
Gentong malah tambah cengengesan sambil garuk-garuk kepala. “Maap pak. He..he..”
Pa tua menaikan celana jins nya yang agak kedodoran akibat nyolong punya temen sebelahnya. Di belakang celana terdapat tulisan ‘Maling-maling kece’
“Udah sana, bangunin temen-temen lu. Heran gue, kok yang rajin bangun cuma lu doang ya.”
“Ya, begitulah pak. Kan kalau saya yang bangun pertama, saya pasti dapet jatah makanan paling banyak.” timpal Gentong masih dalam ekspresi yang sama.
Pa tua menggeleng. “Dasar emang, otak lu otak gentong. Ya udah, gue tunggu di pos ronda. Sumpeh, nyamuknya banyak banget kalau nunggu di pohon beringin. Ada juga, nanti rambut klimis gue jadi butek gara-gara dijilatin nyamuk.”
Gentong tergelak puas. Sedangkan si bapak tua tadi udah cepat melesat dari hadapannya. Takut nanti, tawa Gentong mecahin gendang telinganya.
“Tong, kok belom pada bangun sih? Bentar lagi proyeknya kan dimulai.” tanya Bapak tua sambil meluruskan rambutnya ke atas bak naruto jompo.
Gentong menghela napasnya, namun anehnya bapak tua itu langsung menutup hidungnya. Gentong nyengir sendiri, ia baru teringat kalau semalam, ia baru saja menghabisi sekeranjang pete ijo.
“Anu pa.. Anu.. Pada kaga mau bangun.” Gentong berlaga gagap. Pikirnya, ia baru saja berhasil menirukan gaya aziz gagap. Sempat terlintas di otaknya untuk mengganti nama jadi Gentong Gagap.
Bapak tua menatap bingung Gentong yang masih nyengir gak jelas. Sambil mengernyitkan kening ‘Duh, gue jadi tambah ngeri sama dia. Jangan-jangan dia naksir lagi sama gue, gara-gara rambut klimis yang baru di rinso-in ini.’
“Tong, Oyy!” seru bapak tua itu.
Gentong mengerjap-ngerjap dan langsung bersikap ibarat anggota PBB yang lagi hormat. “Siap, pak!”
“Tong, lu napa sih? Senyum-senyum sendirian, ngga ngajak-ngajak gue.” keluh bapak tua, keki.
Gentong malah tambah cengengesan sambil garuk-garuk kepala. “Maap pak. He..he..”
Pa tua menaikan celana jins nya yang agak kedodoran akibat nyolong punya temen sebelahnya. Di belakang celana terdapat tulisan ‘Maling-maling kece’
“Udah sana, bangunin temen-temen lu. Heran gue, kok yang rajin bangun cuma lu doang ya.”
“Ya, begitulah pak. Kan kalau saya yang bangun pertama, saya pasti dapet jatah makanan paling banyak.” timpal Gentong masih dalam ekspresi yang sama.
Pa tua menggeleng. “Dasar emang, otak lu otak gentong. Ya udah, gue tunggu di pos ronda. Sumpeh, nyamuknya banyak banget kalau nunggu di pohon beringin. Ada juga, nanti rambut klimis gue jadi butek gara-gara dijilatin nyamuk.”
Gentong tergelak puas. Sedangkan si bapak tua tadi udah cepat melesat dari hadapannya. Takut nanti, tawa Gentong mecahin gendang telinganya.
—
Semuanya telah beres. Dari mulai tas, senter, maupun sarung buat menaruh cadangan makanan apabila tasnya nggak muat. Gentong men-cek kembali perlengkapannya. Oke, sempurna! Sebelumnya saya ingin jelaskan, kalau disini setiap maling yang masuk ke rumah itu ada dua. Bukan dua-duanya bantuin gotong. Tapi, yang satu tugasnya nyanyi, biar orang yang mau dirampokin tidurnya tambah nyenyak. Dan satu lagi tugasnya buru barang yang ingin dirampok. Wkwk #tamplok penulisnya
“Ehm, tes.. tes..” Gentong men-cek pita suaranya
“Nyanyi apaan ya ntar gue?” tanyanya sendiri
“Nina bobo udah sering. Potong bebek udah pernah. Emm Happy Birthday, ah yang ini gue ngga bisa ngomong inggrisnya.” Gentong menyibakkan rambutnya yang agak kedepan. “Gue kan cinta Indonesia” pikirnya, lalu tersenyum renyah.
“Ehm, tes.. tes..” Gentong men-cek pita suaranya
“Nyanyi apaan ya ntar gue?” tanyanya sendiri
“Nina bobo udah sering. Potong bebek udah pernah. Emm Happy Birthday, ah yang ini gue ngga bisa ngomong inggrisnya.” Gentong menyibakkan rambutnya yang agak kedepan. “Gue kan cinta Indonesia” pikirnya, lalu tersenyum renyah.
“Tong, lama amat sih lu. Udah mau berangkat nih..” panggil salah sorang teman Gentong, yang menjalani misi rampok bersamanya.
Gentong pun terkesiap. Ia melesat dengan baju yang sama seperti kemarin-kemarin dulu. Pakaian yang serba hitam. Kuku di menipedi hitam, lipstik & eyeshadow nya hitam, tak lupa juga sarung penutup tubuhnya yang didapat dari warisan kakeknya pun bewarna hitam. Gentong berpikir sejenak
‘mungkin lebih cucok, kalau sarungnya jadi warna pink kali yah.’
‘mungkin lebih cucok, kalau sarungnya jadi warna pink kali yah.’
Tujuan pertamanya adalah rumah si Somad. Seorang bocah kecil yang selalu pake sorban dan peci kemana pun ia pergi. Dan pastinya selalu pakai baju koko, masa iye pake sorban trus pake kaos oblong? Ada juga diketawain sama anaconda yang diperut. Ha..ha..
Gentong menyelusup lewat pintu belakang. Jleep. Jidat Gentong langsung beradu dengan tembok beton di sebelahnya. ‘Aduh sungguh sial..’
Pintu pun terbuka dengan sendirinya. Gentong langsung melesat cepat, ia sangat tau tujuan pertamanya, sebelum ia menyanyi ia harus mengisi perutnya dulu, yaitu ke D-A-P-U-R., tempat favoritnya. Beberapa kue-kuean yang kayaknya buat persiapan lebaran, telah berhasil masuk ke dalam tas Gentong. Gentong tersenyum lega ‘Lumayan nih, lebaran ga usah ngredit kue ke pa tua.’
Sayup-sayup Gentong mendengar suara lantunan ayat-ayat suci yang bergetar lembut membangunkan bulu kuduknya yang selama ini tertidur pulas.
Gentong menyelusup lewat pintu belakang. Jleep. Jidat Gentong langsung beradu dengan tembok beton di sebelahnya. ‘Aduh sungguh sial..’
Pintu pun terbuka dengan sendirinya. Gentong langsung melesat cepat, ia sangat tau tujuan pertamanya, sebelum ia menyanyi ia harus mengisi perutnya dulu, yaitu ke D-A-P-U-R., tempat favoritnya. Beberapa kue-kuean yang kayaknya buat persiapan lebaran, telah berhasil masuk ke dalam tas Gentong. Gentong tersenyum lega ‘Lumayan nih, lebaran ga usah ngredit kue ke pa tua.’
Sayup-sayup Gentong mendengar suara lantunan ayat-ayat suci yang bergetar lembut membangunkan bulu kuduknya yang selama ini tertidur pulas.
Di dalam kamar, Somad memang sedang mengalunkan ayat-ayat suci itu tiba-tiba mendengar suara dentingan piring pecah. Somad terkaget dan bangkit.
“Astagfirullah.. Perang dunia ke-3 meledak. Bersiap, waa caw haa.” Somad melancarkan aksi karate yang baru kemarin ia dapat dari tukang bakso sebelah.
“Jurus bakso pedes.” Somad kembali melancarkan salah satu jurus karatenya.
Nyak dan babe Somad yang masih tertidur dalam dekapan guling yang agak pesing itu sontak terbangun dan ikut-ikutan menggerakan kedua tangan mereka meniru gaya si Somad.
Gentong yang masih berpijak di dapur pun panik. Kakinya gemeteran kayak orang lagi nahan sesuatu*. Mukanya yang udah pake blash on warna hitam terlihat makin item. Cukup lama Gentong terpaku dalam kepanikannya. Sampai dari kejauhan ia melihat 3 superhero yang siap beraksi.
Seorang bapak renta berkumis tebal yang mirip chaplin tapi lebih mirip chaplin yang versi indonesiannya yakni jojon, membawa ban motor dan kaca spion yang kacanya udah almarhum karena keinjek sendiri. Lalu ada wanita tua yang hanya pake kupluk serta daster panjang yang agak sedikit robek sambil membawa bantal gulingnya. Dan satu lagi, sorang anak kecil bersorban membawa gayung sekaligus embernya.
Lengkaplah sudah. Superman, Catwomen dan Batman.. #eh ralat, karena keluarga Somad lebih suka yang ke-indonesiaan. Maka jadilah.. jreeng – jreeng – jreeng ~~ Gatot kaca, Cat wadon dan Unyilman ~~
“Astagfirullah.. Perang dunia ke-3 meledak. Bersiap, waa caw haa.” Somad melancarkan aksi karate yang baru kemarin ia dapat dari tukang bakso sebelah.
“Jurus bakso pedes.” Somad kembali melancarkan salah satu jurus karatenya.
Nyak dan babe Somad yang masih tertidur dalam dekapan guling yang agak pesing itu sontak terbangun dan ikut-ikutan menggerakan kedua tangan mereka meniru gaya si Somad.
Gentong yang masih berpijak di dapur pun panik. Kakinya gemeteran kayak orang lagi nahan sesuatu*. Mukanya yang udah pake blash on warna hitam terlihat makin item. Cukup lama Gentong terpaku dalam kepanikannya. Sampai dari kejauhan ia melihat 3 superhero yang siap beraksi.
Seorang bapak renta berkumis tebal yang mirip chaplin tapi lebih mirip chaplin yang versi indonesiannya yakni jojon, membawa ban motor dan kaca spion yang kacanya udah almarhum karena keinjek sendiri. Lalu ada wanita tua yang hanya pake kupluk serta daster panjang yang agak sedikit robek sambil membawa bantal gulingnya. Dan satu lagi, sorang anak kecil bersorban membawa gayung sekaligus embernya.
Lengkaplah sudah. Superman, Catwomen dan Batman.. #eh ralat, karena keluarga Somad lebih suka yang ke-indonesiaan. Maka jadilah.. jreeng – jreeng – jreeng ~~ Gatot kaca, Cat wadon dan Unyilman ~~
Degup jantung Gentong semakin cepat tak terkendali. Keringat dingin mulai mengaliri tubuhnya. Gentong mencoba menghela napas untuk menenangkan pikirannya. Sebutir darah pun akhirnya berhasil masuk ke otak Gentong setelah melewati perjalanan sulit karena terhimpit sisa makanan.
Cliing. Gentong baru teringat.
“Oiya, gue kan pake item-item, kalau ngumpet di bawah meja pasti ngga keliatan. Huh.” Otot nya langsung melemas. Sedangkan otaknya masih berpikir betapa bodohnya dirinya.
“Ema gue ngga pernah nyekolahin gue sih, makanya gue jadi bego gini.” pikirnya sendiri.
Cliing. Gentong baru teringat.
“Oiya, gue kan pake item-item, kalau ngumpet di bawah meja pasti ngga keliatan. Huh.” Otot nya langsung melemas. Sedangkan otaknya masih berpikir betapa bodohnya dirinya.
“Ema gue ngga pernah nyekolahin gue sih, makanya gue jadi bego gini.” pikirnya sendiri.
Si Gatot kaca, Cat wadon, dan Unyilman masih terus mencari sosok misterius itu. Cat wadon memilih mencari ke kamar mandi, karena dari tadi dia udah kebelet. Gatot kaca malah memilih ke tempat motor otentiknya disimpan, karena takut ada sesorang mengambil bagian dari motor yang merupakan pewarisan kakeknya dulu.
Nah.. yang paling pinter kayaknya cuma si Unyilman alias Somad, Somad tau pasti bunyi yang terdengar tadi adalah bunyi piring pecah. Dan piring itu pasti adanya di dapur. Somad melangkah kesana dengan harap-harap cemas, takut, kalau kue nastar yang dibeli pakai hasil rengekan pada babenya itu hilang. Karena butuh berhari-hari buat Somad ngumpulin air mata buayanya untuk minta duit ke babe. Sedangkan air matanya habis diperes kemarin pagi, jadi sekarang pasokan air matanya belum cukup banyak.
Nah.. yang paling pinter kayaknya cuma si Unyilman alias Somad, Somad tau pasti bunyi yang terdengar tadi adalah bunyi piring pecah. Dan piring itu pasti adanya di dapur. Somad melangkah kesana dengan harap-harap cemas, takut, kalau kue nastar yang dibeli pakai hasil rengekan pada babenya itu hilang. Karena butuh berhari-hari buat Somad ngumpulin air mata buayanya untuk minta duit ke babe. Sedangkan air matanya habis diperes kemarin pagi, jadi sekarang pasokan air matanya belum cukup banyak.
Ketiga superhero itu saling berpandangan karena belum juga menemukan sosok itu. Somad memberanikan diri membuka lemari es dan mendapati kue nastarnya yang benar-benar hilang.
“Nyaak, babe.. Kue nastar somad …ilaang.”teriak Somad yang membuat semuanya tutup kuping, termasuk si kulkas sendiri.
Air mata yang membendung pun ga bisa ditahan Somad. Namun setelah beberapa detik, Somad cepat-cepat menghapus air mata itu, dia sadar ini bukan waktu yang tepat untuk merengek pada babenya buat beliin kue nastar baru lagi. Lebih baik ia menyimpan air matanya untuk saat yang tepat
“Nyaak, babe.. Kue nastar somad …ilaang.”teriak Somad yang membuat semuanya tutup kuping, termasuk si kulkas sendiri.
Air mata yang membendung pun ga bisa ditahan Somad. Namun setelah beberapa detik, Somad cepat-cepat menghapus air mata itu, dia sadar ini bukan waktu yang tepat untuk merengek pada babenya buat beliin kue nastar baru lagi. Lebih baik ia menyimpan air matanya untuk saat yang tepat
“Ada apa sih umi, abi?” tanya seorang wanita yang turun menekuri anak tangga dengan anggun. Dihiasi jilbab oranye dan gamis bermotif sakura yang membalut tubuh mungilnya.
Sontak semua mata tertuju pada sosok itu. Termasuk, Gentong yang masih ngumpet di kolong meja pun ikut mesem-mesem sendiri karena mengira wanita tadi adalah bidadari yang baru saja turun dari kayangan untuk berjodoh dengannya geer banget
Namun tak satupun dari mereka yang angkat bicara. Suasana hening sejenak. Tak lama, kumandang adzan memenuhi lorong-lorong sunyi di telinga mereka. Semua mata itu beradu kembali, tak percaya. Sudah berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk ini? Semua menggeleng dan meraba perut mereka masing-masing.
Somad berpikir sejenak. ‘untung aku makan banyak pas tadi malem. Ya, seenggaknya lumayan buat makan anaconda ini biar ngga ngamuk sampe ntar buka.’
Sedangkan si babe dan nyak hanya geleng-geleng kepala. Sambil terus meraba perutnya yang udah kepalang laper. ‘Bobo yang nyaman ya anaconda. Bangunnya nanti pas buka’ pikir mereka bersama.
Dan Aisyah, mpo’ nya somad langsung tancap gas menuju masjid dengan Somad yang masih melingkari sorban di lehernya. Gentong malah terenyuh, melihat kekompakan keluarga tadi. Tapi, hatinya begitu teriris untuk pertama kalinya karena telah mencuri setoples kue ini, semua jadi kacau.
Sontak semua mata tertuju pada sosok itu. Termasuk, Gentong yang masih ngumpet di kolong meja pun ikut mesem-mesem sendiri karena mengira wanita tadi adalah bidadari yang baru saja turun dari kayangan untuk berjodoh dengannya geer banget
Namun tak satupun dari mereka yang angkat bicara. Suasana hening sejenak. Tak lama, kumandang adzan memenuhi lorong-lorong sunyi di telinga mereka. Semua mata itu beradu kembali, tak percaya. Sudah berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk ini? Semua menggeleng dan meraba perut mereka masing-masing.
Somad berpikir sejenak. ‘untung aku makan banyak pas tadi malem. Ya, seenggaknya lumayan buat makan anaconda ini biar ngga ngamuk sampe ntar buka.’
Sedangkan si babe dan nyak hanya geleng-geleng kepala. Sambil terus meraba perutnya yang udah kepalang laper. ‘Bobo yang nyaman ya anaconda. Bangunnya nanti pas buka’ pikir mereka bersama.
Dan Aisyah, mpo’ nya somad langsung tancap gas menuju masjid dengan Somad yang masih melingkari sorban di lehernya. Gentong malah terenyuh, melihat kekompakan keluarga tadi. Tapi, hatinya begitu teriris untuk pertama kalinya karena telah mencuri setoples kue ini, semua jadi kacau.
Gentong mengikuti langkah Aisyah dan Somad menuju masjid. Sedangkan ia hanya berdiri di luar masjid yang ditutupi pohon mahoni yang tumbuh subur di antara pelataran masjid ini. Gentong berjanji, tidak akan pergi, sebelum melihat senyum merekah di bibir Aisyah dan Somad. #Hehew maling berperasaan nih..
‘Allahu Akbar’
Aisyah dan Somad mengikuti sholat berjamaah dan dilanjutkan kultum singkat dari Pa ustad. Sedangkan Gentong masih berdiri di luar masjid, karena ia sempat teringat perkataan dari kakek buyutnya
‘Untuk semua maling dan keturunannya tidak diharapkan untuk memasuki tempat-tempat suci karena tubuh ini terlalu kotor.’
Gentong teringat kembali. ‘iya yah, gue udah berapa minggu ya ngga mandi?’
Aisyah dan Somad mengikuti sholat berjamaah dan dilanjutkan kultum singkat dari Pa ustad. Sedangkan Gentong masih berdiri di luar masjid, karena ia sempat teringat perkataan dari kakek buyutnya
‘Untuk semua maling dan keturunannya tidak diharapkan untuk memasuki tempat-tempat suci karena tubuh ini terlalu kotor.’
Gentong teringat kembali. ‘iya yah, gue udah berapa minggu ya ngga mandi?’
Pusat perhatiannya kembali pada sosok-sosok itu. Terlebih kepada Aisyah. Gentong geleng-geleng kepala sendiri setelah ia menyadari begitu cantiknya wanita yang sedang dalam pandangannya ini.
“Gue baru tau, kalau Somad punya mpo yang secantik ini.” gumam Gentong
Pandangan Gentong kembali menerawang. Tampaknya sedang banyak hal yang menari-nari dalam bayangnya.
“Gue baru tau, kalau Somad punya mpo yang secantik ini.” gumam Gentong
Pandangan Gentong kembali menerawang. Tampaknya sedang banyak hal yang menari-nari dalam bayangnya.
“Mad, nape lu. Daritadi kayaknye ngelamun terus?” tanya Pa ustad, memfokuskan kembali pandangan Gentong pada sosok itu.
Somad yang ditanya tadi malah menggeleng. “Itu pa, emm itu..”
“Itu, itu apa?” cecar Pa ustad.
Somad menghembuskan napas pasrah. “Kue nastar Somad, ilang pa. Somad takut, nanti Somad ngga bisa lebaran.”
Pa ustad berganti menggeleng. Sontak semua mata tertuju pada Somad kemudian tergelak bersama.
“Eh, udeh udeh. Jadi pade rebut sih. Somad, lebaran itu kaga tergantung sama kue nastar. Emang lu mau, lebaran sendirian bareng kue nastar doang?”
Somad menggeleng dan menerawang.
“Ya udeh gak usah sedih lagi ye. Muka lu udah kaye empang retak. Ha..ha. Kan kata lagu, ‘Ngga punya kue pun ngga apa-apa, masih ada kue tetangga.” Jawab Pa ustad seraya bernyanyi, menghasilkan senyum renyah untuk semua, termasuk Somad dan Aisyah.
Somad yang ditanya tadi malah menggeleng. “Itu pa, emm itu..”
“Itu, itu apa?” cecar Pa ustad.
Somad menghembuskan napas pasrah. “Kue nastar Somad, ilang pa. Somad takut, nanti Somad ngga bisa lebaran.”
Pa ustad berganti menggeleng. Sontak semua mata tertuju pada Somad kemudian tergelak bersama.
“Eh, udeh udeh. Jadi pade rebut sih. Somad, lebaran itu kaga tergantung sama kue nastar. Emang lu mau, lebaran sendirian bareng kue nastar doang?”
Somad menggeleng dan menerawang.
“Ya udeh gak usah sedih lagi ye. Muka lu udah kaye empang retak. Ha..ha. Kan kata lagu, ‘Ngga punya kue pun ngga apa-apa, masih ada kue tetangga.” Jawab Pa ustad seraya bernyanyi, menghasilkan senyum renyah untuk semua, termasuk Somad dan Aisyah.
Gentong yang masih setia berdiri di luar masjid pun jadi semakin terenyuh. Dalam hati ia bernapas lega, karena tidak jadi membatalkan lebarannya si Somad. Ya kalau sampe lebaran itu diundur, Gentong ngga tahan lagi pengen nyobainn ketupatnya Ma Ijah, ibunya si somad.
Lantunan ayat suci keluar dari bibir mungil Aisyah. Begitu merdu, menenangkan jiwa. Untuk kesekian kalinya Gentong kembali terenyuh. Ia merasa, angin sepoi-sepoi sedang mengipasi tubuhnya. Tapi ternyata, itu memang benar. Gentong mencium sendiri bau tubuhnya yang begitu semerbak, karena sudah hampir se-abad belum mandi bunga 7 rupa.
Gentong terpaku dalam lantunan ayat-ayat suci itu. Ia terharu, begitu lincahnya Aisyah mengalunkan ayat itu dalam padanan simphony yang indah. Gentong kembali memperhatikan tubuh Aisyah dari atas kembali ke bawah. Sungguh sempurna dan makin sempurna. Wanita idamannya hadir dalam dunia nyata.
Akhirnya Gentong kembali ke persinggahan dalam langkah gontainya.
Gentong terpaku dalam lantunan ayat-ayat suci itu. Ia terharu, begitu lincahnya Aisyah mengalunkan ayat itu dalam padanan simphony yang indah. Gentong kembali memperhatikan tubuh Aisyah dari atas kembali ke bawah. Sungguh sempurna dan makin sempurna. Wanita idamannya hadir dalam dunia nyata.
Akhirnya Gentong kembali ke persinggahan dalam langkah gontainya.
Langit membiru. Angin menghembus. Gentong terduduk di atas kursi panjang di bawah sinar mentari yang tak begitu cerah hari ini. Tenggelam dalam pikirannya yang merampas alam sadarnya. Burung berkicauan dalam symphony-nya. Gentong kembali dan berpikir sejenak
‘Ga enak ya, jadi maling. Mending kalau berhasil, kalau ngga harus lari-larian atau digebukin warga. Masa gue harus jalanin sisa hidup gue untuk jadi maling selamanya? Gue kan juga mau, hidup damai sama mereka. Dihargai, dihormati, bukan dicaci maki.
Apalagi liat mpo nya somad, Aisyah. Duuh, kaya liat air di gurun pasir. Seger, cantik. Lagian, mana mau si Aisyah pacaran ama gue, kalau gue masih jadi maling gini. Huh.’
‘Ga enak ya, jadi maling. Mending kalau berhasil, kalau ngga harus lari-larian atau digebukin warga. Masa gue harus jalanin sisa hidup gue untuk jadi maling selamanya? Gue kan juga mau, hidup damai sama mereka. Dihargai, dihormati, bukan dicaci maki.
Apalagi liat mpo nya somad, Aisyah. Duuh, kaya liat air di gurun pasir. Seger, cantik. Lagian, mana mau si Aisyah pacaran ama gue, kalau gue masih jadi maling gini. Huh.’
Petang hampir sirna. Kemilau senja yang elok berganti dengan serinai malam yang perlahan jatuh di altar langit. Indah dan sempurna. Ciptaannya saja seindah ini, bagaimana dengan penciptanya? Pasti Ia lah maha dari segala maha keindahan. Namun, beginikah rasa syukur kita atas semua keindahan yang telah Ia berikan? Mari kita merenungi hati kita masing-masing. Terkadang, mulut dengan gamblang menyatakan kesalahan orang lain, tanpa pernah berpikir dulu sebenarnya kita pun juga punya kesalahan. Gajah dipelupuk mata tak tampak, semut diujung lautan kelihatan. Udah ah, ngga usah panjang-panjang pidatonya. Hahaa
Kembali pada sosok Gentong. Sosok yang hatinya sedang diserang kalut yang makin berkecamuk. Bimbang, bingung, galau hingga ia tak tau lagi, apa yang seharusnya ia rasakan.
“Gue mau tobat, Le.” Gentong memulai curhat pada sohibnya.
Sule mengernyitkan keningnya yang bergurat roma keheranan. “Hah? Serius lo, Tong?”
Gentong mengangguk. Pandangan mereka beradu. Namun cepat kembali pada alam pikiran mereka masing-masing.
“Bukannya gue mau ngelarang lo. Tapi.. bukannya kita harus ngehargain sesepuh kita yang dari bayi dulu udah jadi maling? Ditambah kakek kita yang kemaren dapet maling award. Kita semakin digembleng juga untuk mendapat itu. dan pastinya kita harus mengorbankan seumur hidup kita untuk jadi maling.” lanjut Sule dengan perasaan bersalahnya.
Sule mengernyitkan keningnya yang bergurat roma keheranan. “Hah? Serius lo, Tong?”
Gentong mengangguk. Pandangan mereka beradu. Namun cepat kembali pada alam pikiran mereka masing-masing.
“Bukannya gue mau ngelarang lo. Tapi.. bukannya kita harus ngehargain sesepuh kita yang dari bayi dulu udah jadi maling? Ditambah kakek kita yang kemaren dapet maling award. Kita semakin digembleng juga untuk mendapat itu. dan pastinya kita harus mengorbankan seumur hidup kita untuk jadi maling.” lanjut Sule dengan perasaan bersalahnya.
Gentong menyergah. “Le, lo ngga ngerti. Gue tuh mau hidup damai, bukan jadi buronan warga mulu. Gue mau le, hidup kayak orang lain. Gue bahkan benci, kenapa gue harus di lahirin di keluarga seperti ini.”
Mereka berdua menarik napas dalam. Lalu dihembuskan bersama.
“Ya, kalau emang itu keputusan lu, gue cuma bisa ngedukung, Tong. Semoga lu bisa bahagia atas keputusan ini. Goodluck sobat.” Sule menepuk bahu Gentong dan segera berlalu menghapus jejak nya yang terbawa riuh angin.
Mereka berdua menarik napas dalam. Lalu dihembuskan bersama.
“Ya, kalau emang itu keputusan lu, gue cuma bisa ngedukung, Tong. Semoga lu bisa bahagia atas keputusan ini. Goodluck sobat.” Sule menepuk bahu Gentong dan segera berlalu menghapus jejak nya yang terbawa riuh angin.
“Pipih.. Mimih..” sahut Gentong, kembali berpikir sejenak ‘kok gue kaya aulel & aziel ya?’
“Aurel Azriel kali.” jawab Mimih menghentakan pandangan Gentong. Ia tercengang ‘gimana nyak bisa tau, suara hati gue ya? Punya kontak telepon kali ..’ batin Gentong.
Si Nyak malah melempar lampu teplok yang sudah tak berapi lagi. “Kontak batin beg*”
“Hehe, nyak kok tau sih.” tanya Gentong kesekian kalinya, kali ini benar-benar terucap dari mulutnya.
“Iya lah.” jawab Nyak keki.
“Aurel Azriel kali.” jawab Mimih menghentakan pandangan Gentong. Ia tercengang ‘gimana nyak bisa tau, suara hati gue ya? Punya kontak telepon kali ..’ batin Gentong.
Si Nyak malah melempar lampu teplok yang sudah tak berapi lagi. “Kontak batin beg*”
“Hehe, nyak kok tau sih.” tanya Gentong kesekian kalinya, kali ini benar-benar terucap dari mulutnya.
“Iya lah.” jawab Nyak keki.
“Ada apa, Tong?” giliran Babe bertanya.
Lama Gentong terpaku, menekuri lantai yang kini dipijaknya. Kedua orang tuanya saling berpandangan. Pikiran mereka sama, bertanya-tanya ‘ada apa gerangan dengan si Gentong ..’
Lama Gentong terpaku, menekuri lantai yang kini dipijaknya. Kedua orang tuanya saling berpandangan. Pikiran mereka sama, bertanya-tanya ‘ada apa gerangan dengan si Gentong ..’
Gentong mengambil napas dalam, menghembusnya tenang. “Nyak, beh, Gentong mau .. bertobat. Gentong mau berenti jadi maling.” ucapnya, menatap kedua orangtuanya dengan penuh pengharapan.
Sontak mata-mata itu menatap balik Gentong geram, tapi tak sempat terlukis dengan kata-kata karena lebih dulu diteduhkan oleh rintik hujan yang perlahan jatuh menuruni bumi dari khayangannya.
Sontak mata-mata itu menatap balik Gentong geram, tapi tak sempat terlukis dengan kata-kata karena lebih dulu diteduhkan oleh rintik hujan yang perlahan jatuh menuruni bumi dari khayangannya.
“Tong, lu kan tau. Lu adalah harapan satu-satunya nyak dan babe untuk meneruskan bisnis keluarga ini. Lu juga tau, gimana sikap kakek lu nanti kalau lo bener-bener mau…” ucap Nyak yang tak sanggup lagi meneruskan kata-kaya karena terpotong oleh air mata yang mengaliri pipinya.
“Maap Nyak, beh. Tapi Gentong gamau, untuk seumur hidup jadi maling. Gentong punya impian, Nyak. Gentong punya cita-cita untuk dicapai. Dan cita-cita Gentong bukan untuk jadi maling kayak gini.” Jelas Gentong panjang kali lebar.
“Maap Nyak, beh. Tapi Gentong gamau, untuk seumur hidup jadi maling. Gentong punya impian, Nyak. Gentong punya cita-cita untuk dicapai. Dan cita-cita Gentong bukan untuk jadi maling kayak gini.” Jelas Gentong panjang kali lebar.
Semua terenyak. Berkutat dengan imajiner mereka masing-masing.
Sedangkan Babe telah tak sanggup menahan air mata nya yang telah memanas sejak tadi. Babe menatap Gentong, teduh. “Tong, babe bener-bener terharu. Lu bisa ngambil keputusan sebesar ini.” Babe menepuk bahu Gentong.
“Dulu.. babe juga punya cita-cita untuk jadi perwira TNI. Tapi babe terlalu kecil untuk impian itu. Babe takut, ngga berani, untuk mengambil keputusan yang sebetulnya sederhana ini, ya kayak lu gini. Tapi babe ngga mampu. Babe hanya pasrah atas jalan takdir yang sama sekali bukan impian babe. Lebih tepatnya mimpi buruk.”
Sedangkan Babe telah tak sanggup menahan air mata nya yang telah memanas sejak tadi. Babe menatap Gentong, teduh. “Tong, babe bener-bener terharu. Lu bisa ngambil keputusan sebesar ini.” Babe menepuk bahu Gentong.
“Dulu.. babe juga punya cita-cita untuk jadi perwira TNI. Tapi babe terlalu kecil untuk impian itu. Babe takut, ngga berani, untuk mengambil keputusan yang sebetulnya sederhana ini, ya kayak lu gini. Tapi babe ngga mampu. Babe hanya pasrah atas jalan takdir yang sama sekali bukan impian babe. Lebih tepatnya mimpi buruk.”
Semuanya menarik napas dalam. Lepas dalam kehangatan.
“Babe harap, lu bisa jadi anak berguna ya, Tong. Babe ingin liat lu bisa meraih cita-cita. Maafin babe tong, maafin babe, karena babe udah ngebesarin lu di tempat yang ngga baik gini. Maafin babe yang udah nyuruh lu jadi maling. Maafin babe karena belum bisa ngedidik lu dengan baik.”
“Babe harap, lu bisa jadi anak berguna ya, Tong. Babe ingin liat lu bisa meraih cita-cita. Maafin babe tong, maafin babe, karena babe udah ngebesarin lu di tempat yang ngga baik gini. Maafin babe yang udah nyuruh lu jadi maling. Maafin babe karena belum bisa ngedidik lu dengan baik.”
“Beh.. Babe ngga perlu minta maaf gini. Gentong yang banyak terimakasih, karena babe sama nyak udah mau ngerawat Gentong sampe gede gini. Gentong janji, Gentong akan jadi anak yang membanggakan untuk kalian.” Gentong mencium tangan kedua orang tuanya.
“Doa’in Gentong ya Nyak, ya Beh.” pinta Gentong lagi. Tulus.
“Doa’in Gentong ya Nyak, ya Beh.” pinta Gentong lagi. Tulus.
Sudah seminggu dari peristiwa mencengangkan itu. Tapi kini, semua orang telah menerima dan bersikap layaknya biasa terhadap Gentong. Tali silaturahmi antar sesama maling pun masih berjalan baik. Sedang si Kakek Gentong yang dulu sangat mengecam keras keputusan Gentong, perlahan akhirnya menerima dan berusaha memahami.
Mulai saat ini, Gentong jadi rajin mengunjungi masjid. Ia mempelajari ilmu agama mendalam. Dari mulai belajar membaca Al-Qur ‘an, fiqih, tauhid dan tafsir ia tekuni dengan mantap. Semua jama’ah masjid, menerima kehadirannya. Walau mereka tau, si Gentong adalah mantan maling paling terkenal dikampung mereka. Tapi, semua orang bisa bertobat bukan? Dan Allah maha penerima taubat hamba-hambanya sebesar apapun dosa itu.
Ilham telah memasuki tubuh Gentong. Langkahnya menjadi ringan untuk menuju masjid, walau terkadang salah satu alasannya karena ingin menemui Aisyah, tapi sholat berjama’ah tak luput ia tinggalkan.
Ilham telah memasuki tubuh Gentong. Langkahnya menjadi ringan untuk menuju masjid, walau terkadang salah satu alasannya karena ingin menemui Aisyah, tapi sholat berjama’ah tak luput ia tinggalkan.
Pertemuan Gentong dengan Aisyah menjadi rutin belakangan ini. Karena Gentong telah mengikuti pengajian rutin Ust. Riza. Ham[ir setiap sore mereka bertemu, bertegur sapa, ataupun sedikit berbincang di sela waktu senggang.
Sore ini Gentong kembali ke pengajian. Dengan langkah semangan ’45, ia menyusuri jalan berkelok yang dipenuhi tanah becek akibat hujan pagi tadi. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Langkah anggun Aisyah menyilaukan mata besar Gentong. Perlahan, dada Gentong mendadak penuh sesak. Lidahnya berubah kelu. Ototnya meregang. Semua system tubuhnya seperti tak berfungsi lagi, tatkala Aisyah semakin melangkah mendekatinya.
“Assalamuaikum. Bang Gentong, kenapa ngga masuk ke dalem?” tanya gadis itu. lembut.
Pipi Gentong semakin menunjukkan rona merahnya. Masih dengan napas yang terengah, Gentong mencoba menghelanya. “Iya, kan nunggu neng Aisyah.”
Aisyah pun tersenyum membalasnya. Langkahnya berirama dengan langkah Gentong memasuki rumah pengajian, sore itu.
“Assalamuaikum. Bang Gentong, kenapa ngga masuk ke dalem?” tanya gadis itu. lembut.
Pipi Gentong semakin menunjukkan rona merahnya. Masih dengan napas yang terengah, Gentong mencoba menghelanya. “Iya, kan nunggu neng Aisyah.”
Aisyah pun tersenyum membalasnya. Langkahnya berirama dengan langkah Gentong memasuki rumah pengajian, sore itu.
Malam ini terlihat begitu cerah. Bulan bersinar setitik melengkuk. Bintang berkelip bergantian, memperlihatkan rasi bintang centaurus yang menawan. Belum lagi, Mars si planet merah yang menampakkan diri diufuk timur. Semuanya begitu indah. Tak satupun kata yang dapat melukiskan.
Gema takbir bersahut-sahutan. Iring-iringan sholawat memper-eloknya. Lidah seperti tak terasa berucap lagi karena begitu seringnya kalimat itu terucap.
Gema takbir bersahut-sahutan. Iring-iringan sholawat memper-eloknya. Lidah seperti tak terasa berucap lagi karena begitu seringnya kalimat itu terucap.
Allahu akbar Allahu akbar wa lillah hil hamd
Kata itu terucap berulang kali dimulut Gentong sambil memukul-mukul kentongan yang dibawanya. Sejenak pikirannya seperti terempas ke lorong waktu. Dulu, ia juga menggunakan kentongan ini untuk membangunkan temannya untuk ber-maling, tapi kini dirinya sangat bersyukur. Dihari suci nan fitri, ia telah bersih. Bukan hanya bersih fisik, namun semoga juga bersih hati. Tak ayal, ucapan syukur itu berulang kali terlontar.
Kata itu terucap berulang kali dimulut Gentong sambil memukul-mukul kentongan yang dibawanya. Sejenak pikirannya seperti terempas ke lorong waktu. Dulu, ia juga menggunakan kentongan ini untuk membangunkan temannya untuk ber-maling, tapi kini dirinya sangat bersyukur. Dihari suci nan fitri, ia telah bersih. Bukan hanya bersih fisik, namun semoga juga bersih hati. Tak ayal, ucapan syukur itu berulang kali terlontar.
Usai melaksanakan sholat ied, Gentong langsung bergegas ke luar rumah menyusuri jalan setapak yang bertempok bata di kedua sisinya. Langkahnya terlihat gugup namun berusaha setenang mungkin dengan napas yang berulangkali dihelanya. Tangan kirinya melingkari tas kecil yang dipenuhi makanan ringan.
“Assalamualaikum” Gentong mengetuk pintu kayu itu.
Selang beberapa detik, pintu itu terbuka. “Waalaikumsalam. Eh Gentong.. Masuk sini..” Wanita setengah baya itu menyambut.
“Lagi pade makan. Lu udah makan belom? Makan bareng aja ye.”
“kalau mpo ngga keberatan sih. hehe..” Gentong berlagak malu-malu kucing. Eh asal jangan malu-maluin deh. x_x
“Assalamualaikum” Gentong mengetuk pintu kayu itu.
Selang beberapa detik, pintu itu terbuka. “Waalaikumsalam. Eh Gentong.. Masuk sini..” Wanita setengah baya itu menyambut.
“Lagi pade makan. Lu udah makan belom? Makan bareng aja ye.”
“kalau mpo ngga keberatan sih. hehe..” Gentong berlagak malu-malu kucing. Eh asal jangan malu-maluin deh. x_x
Semua orang terpaku pada sosok Gentong. Hening. Riuh angin yang perlahan menghembus dari sela-sela jendela mencairkan suasana.
“Eh Gentong, sini-sini makan. Syah, ambilin makanannye buat Gentong.” sapa Babe.
Aisyah pun mengangguk, tanpa banyak tanya ia langsung mengambil seporsi nasi, sayur beserta lauk pauknya.
Kebiasaan Gentong masih sama, senyum-senyum ngga jelas di depan Aisyah yang tampak sangat anggun siang ini. “Makasih ya..”
Aisyah membalas senyum itu dan terduduk kembali dikursinya.
“Eh Gentong, sini-sini makan. Syah, ambilin makanannye buat Gentong.” sapa Babe.
Aisyah pun mengangguk, tanpa banyak tanya ia langsung mengambil seporsi nasi, sayur beserta lauk pauknya.
Kebiasaan Gentong masih sama, senyum-senyum ngga jelas di depan Aisyah yang tampak sangat anggun siang ini. “Makasih ya..”
Aisyah membalas senyum itu dan terduduk kembali dikursinya.
“Gimana Tong? Enak ngga masakannya? Ini si Aisyah nih yang bikin.”
“Wah enak banget beh, apalagi kalau bidadari yang bikin. Tambah wuenak.” jawab asal Gentong.
“Wah enak banget beh, apalagi kalau bidadari yang bikin. Tambah wuenak.” jawab asal Gentong.
Semua tenggelam dalam gelak tawa.
“Oh ya, ngomong-ngomong ada apa nih Tong, kok tumben lu kesini?” tanya Babe setelah usai makan bersama.
Gentong tersentak seperti kehabisan kata-kata. “Emm, ini beh. Oh ye, ini ada sedikit kue-kuean buat semuanya. Maksud Gentong dateng kemari, Gentong mau ngelamar Aisyah beh.”
Kembali. Semuanya saling berpandangan bertanya-tanya.
“Oh ya, ngomong-ngomong ada apa nih Tong, kok tumben lu kesini?” tanya Babe setelah usai makan bersama.
Gentong tersentak seperti kehabisan kata-kata. “Emm, ini beh. Oh ye, ini ada sedikit kue-kuean buat semuanya. Maksud Gentong dateng kemari, Gentong mau ngelamar Aisyah beh.”
Kembali. Semuanya saling berpandangan bertanya-tanya.
“Iye iye. Itu sih terserah Aisyah aja. Gimana Syah?” Babe melempar pertanyaan, mencairkan suasana.
Aisyah tersenyum, mengangguk. “Aisyah.. mau.”
“Oke lah kalau begitu, langsung aja.” Nyak menimpali.
Air muka Gentong berubah. Pipinya memerah. Rasa bahagianya tidak dapat disembunyikan.
Aisyah tersenyum, mengangguk. “Aisyah.. mau.”
“Oke lah kalau begitu, langsung aja.” Nyak menimpali.
Air muka Gentong berubah. Pipinya memerah. Rasa bahagianya tidak dapat disembunyikan.
“Tapi.. Apa bang Gentong mau, nunggu Aisyah untuk menyelesaikan studi di maroko 4 tahun lagi?”
Gentong terdiam cukup lama. Namun kembali, dan tersenyum. “Nunggu 100 tahun lagi unutuk Neng Aisyah, bang Gentong juga mau.”
Gentong terdiam cukup lama. Namun kembali, dan tersenyum. “Nunggu 100 tahun lagi unutuk Neng Aisyah, bang Gentong juga mau.”
Semua kembali dalam gelak tawa.
- Tamat -
Cerpen Karangan: Tutut Setyorinie
Facebook: Tutut Setyorinie
Facebook: Tutut Setyorinie
sumber: via cerpenmu
Tag :
cerita lucu,